Dari Ucapan Selamat, Hingga Ikut Merayakan

Desember 22, 2020


Yang menjadi titik perbedaan antara ulama, khususnya ulama turats dan kontemporer, adalah terkait dilarang atau dibolehkannya mengucapkan selamat Natal. Termasuk ulama Al-Azhar sendiri, boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal (bagi seorang Muslim), mereka masih berbeda pendapat. Jadi terkait ini, adanya perbedaan masih bisa diterima. Dan pembahasan ini sudah pernah saya tulis sebelumnya.

Tapi uniknya, sekarang malah ada sekelompok Muslim yang merayakan Haul seseorang sambil merayakan natal, ada juga ikut beratribut natal, atau ikut masuk ke gereja sambil 'sholawatan' merayakan Natal. Kemudian memfoto semua moment itu, dan menuliskan "BHINEKA TUNGGAL IKA" atau "MEREKATKAN UKHWAH WATHANIAH" atau kata-kata yang semakna.

Seharusnya, jika benar-benar mengakui perbedaan di negeri ini, tidak ada istilah Islam Arab, Islam Nusantara. Jika ingin menjaga kerekatan saudara sebangsa, seharusnya tidak ada lagi tuduhan kepada orang lain "Radikal" "Anti NKRI" tanpa bukti. Apalagi membunuh anak bangsa...

Jika ada saudara kandung kita kesusahan, lalu ada tetangga kita juga kesusahan, Islam mengajarkan untuk mendahulukan saudara kandung. Maka sebelum bertoleransi kepada agama lain, alangkah lebih utama jika bertoleransi kepada sesama agama terlebih dahulu. Bukan memusuhi selain ormas dan Kelompoknya, padahal masih satu agama. 
***

Jadi sekarang kita sampaikan perkataan para ulama terkait hukum ikut merayakan hari raya non-muslim bagi seorang Muslim:

Imam al-Baihaqi meriwayatkan perkataan Umar bin Khattab: 

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم، فإن السخطة تنزل عليهم 
"Janganlah kalian masuk ke dalam gereja orang musyrik pada hari raya mereka. Karena murka Allah turun kepada mereka".

عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللهِ فِى عِيدِهِمْ.
“Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam hari raya mereka.”

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : مَنْ بَنَى بِبِلاَدِ الأَعَاجِمِ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْوَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Abdullah bin Amr berkata: “Barangsiapa yang membangun rumah di negeri-negeri orang Ajam (non muslim), mengadakan acara tahun baru mereka dan festifal mereka, dan menyerupai mereka hingga mati dalam keadaan demikian, maka akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.”
(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra juz 9 hlm 392

Dikutip dari kitab al-Madkhal Li Ibnil Hajj, bahwa Imam Ibn Qasim (Pembesar Ulama Malikiah) mengharamkan memberi hadiah kepada orang Nasrani pada hari raya agamanya, karena hal itu termasuk upaya memuliakan kekafiran. (al-Madkhal libnil Hajj,  juz 2 hal. 47)
(Di sini penulis ingin berkomentar: Memberi hadiah kepada non-muslim kembali kepada niat orang yang memberi. Jika memberi dengan maksud agar ia tertarik dengan Islam, atau sekedar menghormatinya sebagai kerabat, tetangga, maka tidak masalah. Tetapi jika maksud memuliakan kekafirannya, maka dianggap ridha dengan kekafiran, wallahua’lam). 

Dalam konteks ini juga, al-Imam Fakhruddin al-Razi al-Asy'ari ketika menafsirkan ayat tentang sifat Hamba Allah yang sebenarnya:

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“ (Hamba Allah yang sebenarnya) juga, adalah orang-orang yang tidak menyaksikan sebuah kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan : 72).

Imam Fakhruddin  memberikan penjelasan sebagai berikut:

الزُّورُ يَحْتَمِلُ إِقَامَةَ حُضُورَ كُلِّ مَوْضِعٍ يَجْرِي فِيهِ مَا لاَ يَنْبَغِي وَيَدْخُلُ فِيهِ أَعْيَادُ الْمُشْرِكِينَ وَمَجَامِعُ الْفُسَّاقِ، لأَنَّ مَنْ خَالَطَ أَهْلَ الشَّرِّ وَنَظَرَ إِلَى أَفْعَالِهِمْ وَحَضَرَ مَجَامِعَهُمْ فَقَدْ شَارَكَهُمْ فِي تِلْكَ الْمَعْصِيَةِ، لأَنَّ الْحُضُورَ وَالنَّظَرَ دَلِيلُ الرِّضَا بِهِ، بَلْ هُوَ سَبَبٌ لِوُجُودِهِ وَالزِّيَادَةِ فِيهِ، لأَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى فِعْلِهِ اسْتِحْسَانُ النَّظَّارَةِ وَرَغْبَتُهُمْ فِي النَّظَرِ إِلَيْهِ.

“Kata 'zur' dalam ayat tersebut berkemungkinan maknanya menghadiri setiap tempat yang terjadi sesuatu yang tidak patut, dan masuk pula di dalamnya hari raya orang-orang musyrik dan tempat perkumpulan orang-orang fasiq. Karena orang yang bergabung dengan orang-orang yang buruk, melihat perbuatan mereka, dan menghadiri perkumpulan mereka berarti benar-benar ikut andil dengan mereka dalam kemaksiatan tersebut. Karena menghadiri dan menyaksikan termasuk bukti kerelaan terhadapnya. Bahkan sekedar menghadiri dan memandang merupakan sebab adanya rasa ridha dan bertambahnya ridha. Karena suatu hal yang mendorong mereka untuk melakukannya adalah anggapan baik menonton dan keinginan mereka menyaksikannya.” (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 24 hlm 98-99).

Dalam kitabnya, Ibn Qayyim mengutip pernyataan seorang ulama madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari al-Syafi’i yang berkata:

وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَحْضُرُوا أَعْيَادَهُمْ؛ لأَنَّهُمْ عَلَى مُنْكَرٍ وَزُورٍ، وَإِذَا خَالَطَ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ أَهْلَ الْمُنْكَرِ بِغَيْرِ اْلإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ كَانُوا كَالرَّاضِينَ بِهِ الْمُؤْثِرِينَ لَهُ، فَنَخْشَى مِنْ نُزُولِ سُخْطِ اللهِ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فَيَعُمُّ الْجَمِيعَ، نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ سُخْطِهِ.

“Kaum Muslimin tidak boleh menghadiri hari raya mereka (non muslim), karena sesungguhnya mereka berada pada kemungkaran dan kepalsuan. Apabila orang-orang baik bergabung dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran dengan tanpa mengingkari kemungkaran tersebut, maka berarti mereka seperti orang-orang yang rela terhadap kemungkaran tersebut dan bahkan mengutamakan kemungkaran itu. Kami mengkhawatirkan turunnya murka Allah kepada perkumpulan mereka, maka kemurkaan itu akan merata kepada semuanya. Kami berlindung kepada Allah dari kemurkaan-Nya.” 
(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl al-Dzimmah, juz 3 hlm 1245).

***
Jadi sekali lagi, silahkan anda berbeda masalah boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal. Namun masing-masing ada konsekuensi, situasi,  dan syarat-syarat yang perlu diperhatikan, khususnya dalam 'adabul ifta'.

Tapi ikut merayakan, ikut beratribut dalam perayaan non-muslim, hal itu  bukan lagi ranah perbedaan ulama.  Jika 'anda ngaji' plus 'tuntas'  anda tidak akan terjerumus kepada kebodohan ini.

Terkait toleransi di negeri ini, umat Islam tidak perlu diajari toleransi. Terlebih Ahlussunnah Wal Jamaah yang berakidah Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi, lalu berfikih dengan 4 Mazhab mu'tabar. Karena Akidah Sunni sudah mengajarkan kita toleransi secara ilmiah dan praktik.

Ini perlu ditegaskan karena beberapa hari lalu beredar seorang penceramah mengatakan kira-kira begini: 
"Ahlussunnah saja tidak cukup, harus ikut (nama ormas tertentu), maka Indonesia akan aman.  Karena Ahlussunnah saja tidak mengajarkan cinta negara, ia hanya tentang cinta agama". Terkait ini akan ditulis dalam judul tersendiri insyaAllah .

Terakhir, foto di bawah ini adalah bukti bisu bagaimana toleransi itu sudah ada dan diajarkan oleh ulama Ahlussunnah, khususnya ulama Al Azhar. Foto ini diambil secara tidak sengaja, dan pastinya tidak ada 'acting'  seperti mereka yang suka upload 'bukti toleransi'  dan teriak 'Kita Pancasila'

Ini perlu ditegaskan, karena sekali lagi, kata penceramah tadi "Alumni Timur Tengah tidak diajarkan cinta negara". Hasbunallah wani'mal wakil. Allah yang lebih tahu kecintaan kita pada Indonesia... Hah, sudahlah. Cinta itu bukti, bukan kata-kata.

Semoga tulisan ini bermanfaat,  Wallahua’lam bissawab

Ali Afifi Al-Azhari 
Al-Azhar Kairo 23 Des 2020

 

You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari