Islam Warisan
Desember 16, 2020Sempat ramai
ada seorang bocah perempuan mengatakan, agama orang Indonesia adalah agama
warisan, terutama bagi mereka yang beragama Islam. Termasuk ia sendiri, yang mendapatkan
agama Islam dari kedua orang tuanya, sehingga ia merasa agama yang dianutnya
bukanlah pilihannya seratus persen.
Ada kesamaan
antara penulis dan bocah tadi, kita sama-sama dilahirkan dari keluarga yang
Islam dan kita mendapat agama ini dalam bentuk warisan dari orang tua. Ya,kita
sama-sama “didoktrin” oleh kedua orang tua untuk beragama Islam. Tapi letak perbedaan kami, ia merasa dirugikan dengan “agama warisan”
itu, sedangkan penulis benar-benar bersyukur dengan agama warisan ini.
Bagaimana tidak, mendegar kisah beberapa muallaf yang menyatakan dirinya masuk
Islam, mereka memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berifkir, mereka juga
memerlukan ilmu yang cukup luas untuk menemukan kebenaran ini. Sedangkan kita
yang sudah diberi anugerah menjadi Islam sejak kecil, tidak perlu bersusah-payah
mempelajari semua agama hingga menemukan agama yang paling benar yaitu Islam.
Saahsatu contohnya
adalah Prof. Mauric Bucaille, seorang ahli bedah kenamaan Prancis yang memeluk
Islam setelah melakukan penelitian pada jasad mumi Fir’aun Ramsis II. Mauric
berkesimpulan bahwa Fir’aun mati dalam keadaan tenggelam di laut, dengan bukti
sebutir garam di mumi Fir’aun. Hal itu sebelum ia mengenal Islam dan al-Quran.
Hingga kemudian ada salahsatu stafnya yang berbisik, bahwa kesimpuan dari penelitian
yang Murice lakukan itu sudah diketahui Umat Islam melalui al-Quran mereka.
Maurice terkejut dan membuatnya ingin mempelajari al-Quran. Singkat cerita,
Maurice mempelajari al-Quran dengan backgroundnya sebagai seorang ilmuan sains
dan kedokteran. Selama itu ia sangat terkagum dengan fakta ilmiah yang
disampaikan al-Quran, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk memeluk agama
Islam. Hasil penelitiannya juga
dibukukan dalam karya yang berjudul “Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern” ,
dengan judul asli dalam bahasa Prancis, “La Bible, le Coran et la Science” .
Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional di dunia
Muslim dan telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa utama di dunia.
***
Kalau kita
lihat di era pertama Baginda Nabi menyampaikan dakwahnya, para sahabat diuji
dengan dasyat. Mereka diuji untuk meninggalkan agama nenek moyang untuk
kemudian memeluk agama Islam. Tentu hal
itu tidaklah mudah, karena banyak juga yang memungkiri dakwah Nabi, seperti pamannya
sendiri Abu Jahal dan Abu Lahab. Maka tidak ayal jika al-Quran melabeli para
Sahabat yang beriman dengan Islam sebagai umat yang paling utama (Khairul
ummah).
Polemik
tentang agama warisan tidak lepas dari pembahasan para ulama kalam (teolog), yang
mereka sebut dengan istilah “Imanul muqallid” atau imannya orang-orang yang hanya ikut-ikut.
Imam al-Maturidi (W. 333 H.) berpendapat
bahwa Imannya muqallid dianggap
sah, dan mereka sudah dianggap selamat di akhirat kelak.[1]
Imam al-Amidi (W. 631 H) juga bependapat bahwasanya
keimanan orang awam sah, tidak dihukumi Kafir. Imam ad-Dardiri (W. 1201 H.) dalam Kharidah
juga berpendapat bahwa Iman mereka
sudah bisa diterima alias sah.[2]
Jadi sampai di sini, agama waisan tidak dianggap bermasalah. TIdak pelru takut
lagi dicibir ‘sebagai boneka’ karena menganut agama warisan.
Kemudian
para ulama menjelaskan, keimanan mereka dikatakan cukup meski tidak mengetahui dalil secara
terperinci. Cukup mengetahui argumentasi umum, seperti argumntasi bahwa alam
semesta ini adalah tanda keberadaan Allah swt. Namun kemudian ulama
mempertegas, bahwa orang yang sebenarnya mampu mengetahui dalil secara
terperinci namun tidak melakukannya, ia dihukumi telah bermaksiat. [3]
Dalam magnum opusnya; Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan, merupakan
anugerah yang sangat besar jika seseorang dilahirkan dari orang tua yang
beragama Islam, karena ia sudah dianggap beriman tanpa harus bersusah-payah
mempelajari argumentasi kaum teolog.[4]
Dan termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mendidik dan
mengajarkannya tentang keimanan kepada Allah swt. Namun Imam al-Ghazali tidak
memungkiri bahwasanya iman orang muqallid
begitu rapuh, jika tidak disertai dengan usaha memperkuat iman tersebut.
Ulama juga
membahas secara detail hukum mengucapkan kalimat syahadat , bahwasanya kalimat
ini wajib diucapkan selama masih mampu. Sejak mengucap syahadat itulah, orang
tersebut dikatakan sebagai muslim, meski masih melakukan maksiat dan tidak
melaksanakan kewajiban agama.
Ada fenomena
yang banyak terjadi, di mana beberapa anak-anak merasa belum mengucapkan
kalimat syahadat selama ia lahir. Ia dilahirkan dari kedua orang tua muslim yang
taat. kedua orangtuanya tidak pernah menyuruhnya mengucap syahadat sehingga ia
bisa dikatakan Islam, orang tuanya hanya mendidiknya sholat, puasa dan
melaksanakan kewajiban dalam agama. Lalu bagaimana hukum anak
tersebut?.Jawabannya, anak tersebut adalah seorang muslim yang sah menurut para
ulama. Ia juga dihukumi sebagaimana orang yang mengucap syahadat.[5] Terlebih lagi jika anak tersebut sudah
melakukan sholat, kita semua tahu dalam doa tasyahhud ada ucapan syahadat di
sana, ituun sudah dianggap bersyahadat. Bukankah kita di Indonesia sering
mendengar kalimat azan? Bukankah kita dulu diajarkan menjawab azan? Ya itu
semua adalah kalimat syahadat.
Dengan
demikian, jika pembaca memeluk agama ini atas dasar warisan orang tua, maka
bersyukurlah, dan senantiasa meningkatkan keimanan. Kita melihat banyak bahkan
hampir semua ulama mendapatkan agama, bahkan ilmunya dari kedua orang tuanya,
lalu di mana letak aibnya? Menapa harus menggungat seseorang hanya beragama
atas warisan. Bagaimana dengan dilahrikannya dari rahim seorang wanita yang
mengasuhnya hingga dewasa, apakah itu merupakan bahan olokan. Bagaimana jika
dulunya ia dilahirkan dari watina pezina, yang menggugurkan anaknya dan
membuangnya di selkan? Maka pintar-pintarlah bersyukur.
Ali Afifi Al Azhari
16 Des 2020
[1]
Dikutip dari buku: Aqidah Ahlussunnah wal Jamah, karya Syekh Ali Jum’ah, hal 19
[2]
Imam ad-Dardiri, Syarah kharidah al-Bahiyah, Kairo: Dar Imam Malik, cet 1,
2016, hal 156
[3]
Ali Jum’ah. Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, Kairo: Dar al-Muqattam, cet. 1 2011,
hal. 19
[4]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, Kairo, Dar el-Quds. Cet 1 2012, jilid 1
hal. 159
[5]
Ali Jum’ah. Akidah Ahlussunnah wal Jamaah, hal. 22
1 komentar
#A
BalasHapuskak, bagaimana tentang fenomena saat ini banyak orang yang keislamannya dari jalan fikriyah dan naqliyah justru lebih mengakar iman dan islamnya, ketimbang orang yang islamnya hanya turunan (tidak sama sekali menjalani proses pencarian keimanan) bahkan ditemukan ada seorang muallaf yang ilmu agamanya lebih mengakar dibandingkan orang yang islam sejak lahir. apakah ini sebab mengabaikan pesan 'imam syafi'i?? He said "the first obligation for a person who is baligh is tafakkur."
atau karena umat mengabaikan tauladan nabi yang mendapatkan mendali sang khalilullah (Nabi Ibrahim )yang padahal Sang Khalilullah itu menemukan keimanannya dengan cara berfikir?
______________________________________
#C
Islam agama yang benar, bukan yang paling benar karena kalau ada kata 'paling' maka akan didapatkan opsi bahwa ada agama lain yang benar.
So, hanya islam agama yang benar dan yang lain salah sebab kebenaran Quran jangankan kesalahan,keraguan nya pun tidak ada.
2:2
3:19