Sufi dan Tasawwuf
Desember 14, 2020Sufi dan Tasawwuf
Sebuah
derajat di mana seorang hamba telah sampai pada titik, ia tidak lagi melihat
dirinya melainkan hanya sorang hamba dari Tuhan yang Maha Kuasa. Setelah cukup
lama meniti jalan berislam dengan menjalankan segala kewajiban dan meninggalkan
segala larangan, seorang hamba mulai merasakan kelezatan beribadah, bahkan
melihat semua yang Allah swt perintah merupaan hobi dan kebahagiaan baginya. Aturan-aturan
Allah yang dulunya dirasa hambatan, pengekagan, baginya merupakan kebahagiaan,
bahkan kebutuhan.
Nabi Muhammad Saw adalah qudwah (tauladan) termulia
dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Ketika dilanda kesusahan, kegentingan,
beliau kembali kepada Allah dengan melaksanakan shalat.
(أرحني بالصلاة يا بلا)
“Buatlah
aku tenang dengan sholat wahai Bilal..”.
Rasa tenang
yang didapatkan di dalam shlat inilah, yang membuat orang-orang solih lupa akan
segala hal di sekitarnya. Diceritakan
bahwa ada seorang sahbat nabi, yang tertusuk panah di tengah melaksanakan
solat. Ia tidak meraskan kesakitan apapun, meski darahnya mengalir deras. Panah
itu dicabut dari tubuhnya, ketika ia dalam keadaan solat. Hingga rasa sakit itu
baru terasa setelah sahabat tadi menyelsaikan solatnya.
Tingkatan
dalam beragama, ini juga dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadis Jibril, saat
bertanya kepada Nabi Muhammad: “Wahai Muhammad, apakah itu Ihsan?”. Nabi
menjawab: “Ihsan adalah, agar engkau beribadah untuk-Nya dengan keyakinan bahwa
engkau melihat Allah, jika tidak mampu, katahuilah bahwa Dia melihtmu”.
Beribadah seakan melihat Allah, disebut (maqam Musyahadah), dan merasa
dilihat oleh Allah adalah (maqam Muraqabah). Musyahadah artinya,
seorang hamba tidak lagi melihat dirinya, ibadahnya, dan segala hal di dunia.
yang ia lihat adalah Allah semata, bumi dan langit mengingatkannya kepada
Allah, tidak ada yang wujud secara mutlak (absolut), keculi Allah Swt. Dan
makna Muraqabah, adalah melihat bahwa dirinya tidak pernah luput dari
pengawasan Allah, tidak ada yang bisa disembunyikan dari Allah, dan keyakinan
bahwa Allah Maha Mengetahui segala hal. Sehingga seorang hamba enngan untuk
melakukan apapun yang membuat Tuhannya marah dan murka. Dalam Solat, kita selalu membaca:
إن صلاتي ونسكي ومحياي
ومماتي لله رب العالمين
Sesungguhnya
Salatku, dan ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Swt.
Hubungan
rohani-etika seorang hamba dengan Tuhannya, manusia lainnya, bahkan diriya
sendiri, sudah masuk dalam cakupan maqam ihsan yang disebutkan di dalam
hadist. Termasuk segala hal yang berkaitan dengan penataan hati, kebersihan
jiwa, dan jernihnya akal.
Tingkatan
Ihsan inilah yang -oleh para ulama- kemudian disebut “Tasawwuf” dan pelakunya
disebut “Sufi” atau “Mutashawwif”. Terlepas dari perbedaan atau sejarah asal
kata “Tasawwuf”, namun yang menjadi sorotan kita adalah subsatansi dari
penjelasan di atas.
***
Segala
disiplin ilmu keisaman, memang tidak tercatat di era Nabi Muhammad saw dan
sahabantnya, seperti akidah, fikih, tafsir, hadis dan sebagainya. Semua
perangkat imu-ilmu di atas, masih melekat dan mendarah-daging bagi
beliau-beliau. Hingga pada akhirnya muncul era di mana semua disiplin ilmu
dikodifikasikan, kemudian diajarkan secara metodelogis. Termasuk di dalamnya
ilmu Tasawwuf.
Maka
mucullah beberapa istilah-istilah, yang kerap kali kita temukan dalam buku Tasawwuf.
Seperti misalnya “Takhalli, Tahalli, dan Tajalli”. Takhalli (التخلي) yang artinya “pengkosongan/penyucian”, adalah
fase seorang hamba membersihan hatinya dari segala penyakit hati dan jiwa.
Penyakit
yang dimaksud adalah hal yang maknawi, seperti rasa ingin dipuji, sombong,
hasud, iri, dengki, dsb, yang harus dibersihkan terlebih dahulu. Caranya adalah
dengan banyak berlatih (riyadhah), berzikir dan meminta perlindungan
kepada Allah dari sifat-sifat keji di atas.
Setelah hati
kosong dari penyakit-penyakit, barulah dimulai fase Tahallai (التحلي) yang artinya “penghiasan”. Menghiasi hati dan perbuatan dengan
segala sifat mulia dan terpuji, seperti ikhlas, tawakal, sabar, rendah hati,
istiqamah dll .
Habis gelap
terbitlah terang, setelah dua fase ini otomatis mencapai Tajalli (التجلي) yang artinya “menjadi
terang bercahaya”. Di fase iniah seorang
dikatakan sudah mencapai tingkatan ihsan, di manapun ia berada, apapun yang
terjadi, orang yang sudah mencapai derajat ini akan mejadi penerang jalan menuju
Allah swt. Dalam ibadah, sosial, rohani maupun kejernihan akal.
Ini hanya segelitir dari Tasawwuf, masih banyak hal yang disalahpahami tentang tasawwuf bahkan disesatkan karena kurang membaca perial tasawwuf dari subernya yang otentik. Atau menilai tasawwuf dari orang-orang yang mengaku dirinya sufi, tapi perbuatannya sangat jauh untuk dikatakan sufi. jika nging enganal Tasawwuf lebih jauh, seperti dikatakan para Ulama adalah dengan banyak menghadiri majlis orang solih, dan mendengatkan nasihat-nashat, serta banyak berbadah, membaca al-Quran dan sabda Baginda Nabi Muhammad saw. wallahualam.
Ali Afifi Al-Azhari
15 Des 2020
2 komentar
👍
BalasHapus👍
BalasHapus