Kemesraan Abuya Maliki dan Al-Azhar Kairo (Bag 1)

April 21, 2022


(Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di Majalah Mafahim Hai'ah as-Shofwah pada tahun 2018)

Gelar sebagai “Imam Ahlussunnah Wal Jamaah abad 21” bukan lagi gelar yang luar biasa, tapi sangat sangat dan sangat luar biasa. Ibarat Imam as-Syafi’i yang dijuluki Nashirus Sunnah (Sang penolong Sunnah), al-As’ary sebagai Imam Ahlussunnah, Imam Ahlul Hadist, atau  Imam al-Ghozali yang dijuluki Hujjatul Islam, semua itu tidaklah lain atas dasar besarnya jasa Ulama tersebut terhadap Islam dan Muslimin, sehingga mereka bukan hanya diberi apresiasi oleh Allah SWT di akhirat, sejak di dunia telah terpancar Rahmat Allah SWT dalam diri mereka. Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari berkata dalam al-Hikam,  “Jika kau ingin mengetahui kedudukanmu di akhirat kelak, maka lihatlah bagaimana Allah meletakkan kedudukanmu sejak di dunia.”

            Orang hebat tidak akan pernah dilupakan sejarah, tinta emas tak akan luntur termakan zaman, jasad boleh dikandung bumi, namun ilmu dan amal tetap harum semerbak sampai sangkakala Israfil bergema. Imam as-Syafi’i pernah berkata:

قد مات قوم وما ماتت فضائلهم # وعاش قوم وهم في الناس أموات

 “ Bisa jadi raga seorang hamba telah mati,  namun karya, kelebihan dan keutamaannya tetap hidup. Ada juga seseorang yang masih hidup namun di mata manusia ia telah menjadi mayat yang tak berguna”.

Inilah yang kita temukan pada sosok Abuya Sayyid Muhammad Al Maliki, bukan hanya dilahirkan dari kelurga yang terhormat di kalangan penguasa dan masyarakat, keluarga Abuya juga pembawa rantai  nasab serta ikatan tali ilmu dari Baginda Muhammad SAW. Jasad beliau boleh dikandung bumi sejak beberapa tahun, namun ruh beliau, ilmu beliau, barokah beliau tetap hidup dan mengalir dalam jiwa para murid dan pecintanya.

Penulis sedang tidak ingin menulis ulang biografi Abuya yang telah banyak tertuang dalam lembaran kertas ataupun media tulis lainnya,  penulis ingin menyalurkan beberapa hal mengenai Abuya dari pola pandang yang lain, namun ini bersifat subjektif alias kacamata pribadi, namun tetap merujuk pada sumber-sumber asli. Dalam hal ini penulis ingin menuangkan sekilas hubungan erat antara Abuya dan Al Azhar as-Syarif di Kairo Mesir.

            Bagi Abuya, menuntut ilmu adalah hobi dari segala hobi, bahkan beliau selalu bernasihat kepada para muridnya supaya giat dalam mencari ilmu. Sama halnya dengan para Ahlul Bait, kakek-kakek beliau  yang tidak pernah terselip kata lelah untuk mencari ilmu,  kemudian mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dan menyampaikannya kepada orang lain.

 Atmosfer keilmuan telah tercium kental pada diri Abuya, itu sebabnya yang mewarnai kehidupan Abuya semenjak kecil adalah ilmu dan ilmu.  Sang ayahanda; Sayyid Alawi Al-Maliki adalah ulama tersohor di zamannya, selain menulis buku beliau juga sibuk mengisi halqah atau majlis di Masjidil Haram Makkah al-Mukarramah, dari beliaulah Abuya kecil dididik dan dibesarkan. Mantan Rektor Al Azhar, Prof. Muhammad al Tayyib al Najjar berkata “....maka tidak aneh jika seorang putra menjadi orang yang hebat dari seorang ayah yang hebat, Sayyid Muhammad mampu menvisualisasikan sosok Ayahnya Sayyid Alawi kembali, secara keilmuan, adab, dan religiuitas. Pepatah Arab mengatakan (Man yusyaabih abahu fa ma dzalam)”

            Ibarat pencari harta yang tak pernah puas, demikian pendahaga ilmu tak pernah puas dengan ilmunya. Sebagaimana Abuya selalu bernasihat kepada semua murid-muridnya untuk selalu menjadi santri, pelajar,  (Mazilta tholiban).  Ilmu sang ayah; Sayyid Alawi telah dilahap oleh Abuya, layaknya Imam Malik memerintahkan as-Syafi’i berhijrah untuk berguru ke tempat lain setelah ilmunya dilahap Syafi’i, Sayyid Alawi memerintahkan Abuya untuk berhijrah ke negeri para nabi; Mesir. Tempat mecusuar Ahlussunnah tertua itu bersemayam,  yaitu Al-Azhar as-Syarif.

Bersambung..... 

 Ali Afifi Al-Azhari

You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari