Kemesraan Abuya Maliki dan Al-Azhar Kairo (Bag 1)
April 21, 2022Gelar sebagai “Imam
Ahlussunnah Wal Jamaah abad 21” bukan lagi gelar yang luar biasa, tapi
sangat sangat dan sangat luar biasa. Ibarat Imam as-Syafi’i yang dijuluki Nashirus
Sunnah (Sang penolong Sunnah), al-As’ary sebagai Imam Ahlussunnah, Imam
Ahlul Hadist, atau Imam al-Ghozali
yang dijuluki Hujjatul Islam, semua itu tidaklah lain atas dasar
besarnya jasa Ulama tersebut terhadap Islam dan Muslimin, sehingga mereka bukan
hanya diberi apresiasi oleh Allah SWT di akhirat, sejak di dunia telah
terpancar Rahmat Allah SWT dalam diri mereka. Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari berkata
dalam al-Hikam, “Jika kau ingin
mengetahui kedudukanmu di akhirat kelak, maka lihatlah bagaimana Allah meletakkan
kedudukanmu sejak di dunia.”
Orang
hebat tidak akan pernah dilupakan sejarah, tinta emas tak akan luntur termakan
zaman, jasad boleh dikandung bumi, namun ilmu dan amal tetap harum semerbak sampai
sangkakala Israfil bergema. Imam as-Syafi’i pernah berkata:
قد مات قوم وما ماتت فضائلهم # وعاش قوم وهم في الناس أموات
“
Bisa jadi raga seorang hamba telah mati,
namun karya, kelebihan dan keutamaannya tetap hidup. Ada juga seseorang
yang masih hidup namun di mata manusia ia telah menjadi mayat yang tak
berguna”.
Inilah yang
kita temukan pada sosok Abuya Sayyid Muhammad Al Maliki, bukan hanya dilahirkan
dari kelurga yang terhormat di kalangan penguasa dan masyarakat, keluarga Abuya
juga pembawa rantai nasab serta ikatan
tali ilmu dari Baginda Muhammad SAW. Jasad beliau boleh dikandung bumi sejak
beberapa tahun, namun ruh beliau, ilmu beliau, barokah beliau tetap hidup dan
mengalir dalam jiwa para murid dan pecintanya.
Penulis sedang
tidak ingin menulis ulang biografi Abuya yang telah banyak tertuang dalam
lembaran kertas ataupun media tulis lainnya, penulis ingin menyalurkan beberapa hal mengenai
Abuya dari pola pandang yang lain, namun ini bersifat subjektif alias kacamata
pribadi, namun tetap merujuk pada sumber-sumber asli. Dalam hal ini penulis ingin
menuangkan sekilas hubungan erat antara Abuya dan Al Azhar as-Syarif di Kairo
Mesir.
Bagi
Abuya, menuntut ilmu adalah hobi dari segala hobi, bahkan beliau selalu
bernasihat kepada para muridnya supaya giat dalam mencari ilmu. Sama halnya
dengan para Ahlul Bait, kakek-kakek beliau yang tidak pernah terselip kata lelah untuk
mencari ilmu, kemudian mengaplikasikan ilmu
yang didapatkan dan menyampaikannya kepada orang lain.
Atmosfer keilmuan telah tercium kental pada
diri Abuya, itu sebabnya yang mewarnai kehidupan Abuya semenjak kecil adalah
ilmu dan ilmu. Sang ayahanda; Sayyid
Alawi Al-Maliki adalah ulama tersohor di zamannya, selain menulis buku beliau
juga sibuk mengisi halqah atau majlis di Masjidil Haram Makkah
al-Mukarramah, dari beliaulah Abuya kecil dididik dan dibesarkan. Mantan Rektor
Al Azhar, Prof. Muhammad al Tayyib al Najjar berkata “....maka tidak aneh
jika seorang putra menjadi orang yang hebat dari seorang ayah yang hebat,
Sayyid Muhammad mampu menvisualisasikan sosok Ayahnya Sayyid Alawi kembali,
secara keilmuan, adab, dan religiuitas. Pepatah Arab mengatakan (Man yusyaabih
abahu fa ma dzalam)”
Ibarat pencari harta yang tak pernah puas, demikian pendahaga ilmu tak pernah puas dengan ilmunya. Sebagaimana Abuya selalu bernasihat kepada semua murid-muridnya untuk selalu menjadi santri, pelajar, (Mazilta tholiban). Ilmu sang ayah; Sayyid Alawi telah dilahap oleh Abuya, layaknya Imam Malik memerintahkan as-Syafi’i berhijrah untuk berguru ke tempat lain setelah ilmunya dilahap Syafi’i, Sayyid Alawi memerintahkan Abuya untuk berhijrah ke negeri para nabi; Mesir. Tempat mecusuar Ahlussunnah tertua itu bersemayam, yaitu Al-Azhar as-Syarif.
Bersambung.....
0 komentar