Islam Nusantara dan Islam Arab ?

Juni 19, 2017

Islam Nusantara, Tidak Ada Islam Arab

Beberapa minggu lalu, senior kami di Al Azhar; bapak Muchlis Hanafi MA. (Dewan pentashih al-Quran Indonesia) berbicara mengenai Islam Nusantara. Beliau mengutarakan ketidaksetujuannya dengan adanya istilah ISLAM NUSANTARA baru-baru ini.
Menurutnya, penggandengan kata (Islam) dengan (Nusantara) menyebabkan beberapa konotasi yang buruk terhadap Islam dan berupaya memecah belah umat. Karena dalam ilmu bahasa, salah satu tujuan "idhafah" adalah " Libayan an-nau' " (untuk menjelaskan jenis). Konsekuensinya akan ada istilah "Islam Arab" , "Islam China" "Islam Barat" dst. Dan ini adalah upaya memecah belah umat.
Saya sangat setuju dengan riset beliau, kami menolak istilah Islam Nusantara karena beberapa sebab di atas. Namun, istilah ini bisa diterima dengan syarat, harus ada "takdir" kata (di) di antara dua kata, sehingga menjadi ISLAM ( DI ) NUSANTARA. Meskipun penganut Islam Nusantara nyeleneh tidak menerimanya.
Sekitar dua bulan yang lalu, ketua PBNU; KH. Said Aqil Siraj juga kebetulan bertamu ke Mesir, dan turut memberikan tausiah kepada Mahasiswa Indonesia di Mesir. Alhamdulillah saya juga hadir sampai acaranya selesai, sempat berfoto dan mencium tangan beliau. Dalam seminar itu, saya sangat berharap beliau akan berbicara Islam Nusantara sehingga saya bisa mengetahui langsung apa makna aslinya. Pak Said menjelaskan, Islam Nusantara adalah Islam yang santun, Islam yang ramah, tidak marah dan legowo, yang menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan hak serta kewajiban umat manusia. Tidak marah dalam berdakwah, halus, lembut dan perlahan dalam menyampaikan kebenaran. Mendengar ceramah ini, saja jadi ingat saat saya duduk di majlis al-Habib Ali al-Jufry, saat mengkaji kitab karangan guru besar Habib Umar bin Hafidz "Qobs Muril Mubin". Ciri Islam Nusantara yang disebutkan Kiyai Said sama persis dengan apa yang diajarkan Habib Ali, sedangkan beliau orang Yaman. Saya juga punya guru Sastra Arab asal Palestina, Syekh Ismail Bul-bul. Dalam pengajiannya, beliau sangat lembut dan halus dalam bertutur, sama persis seperti orang Nusantara. Apalagi guru saya di Azhar, jangan tanya sifat lemah lembut dan rasa toleransi mereka yang kental, Toleransi dan Beradap adalah makan minum kami di sini, di negeri Mesir.
Dari sini alasan kuat saya jelas, Istilah Islam nusantara harus diberi penjelasan, bahwa maksudnya adakah Islam di Nusantara. Sebab Islam yang lembut dan toleransi bukan hanya yang ada di Indonesia, negara Arab bahkan Islam yang diajarkan Rasulullah SAW adalah yang demikian.
Tapi, akhir akhir ini muncul kelompok yang selalu mengatasnamakan Islam Nusantara Nyeleneh. Mereka adalah tokoh liberal yang bermaksud mengkotak-kotakan umat serta menyempitkan makna Islam yang universal. Akibatnya yang terjadi adalah pengerdilan pemahaman terhadap Islam dan menjadi terbatas pula penerapan terhadap syariat islam. Jika demikian, syariat Islam tidak akan mampu mewarnai namun malah diwarnai dengan warna-warna yang mengaburkan terhadap syariat Islam itu sendiri. Semua itu bermuara pada tujuan yang sama, yakni 'Liberalisasi' Islam dan 'Lokalisasi' Islam.
Seorang penulis Pesantren SIDOGIRI Jatim, Achyat Ahmad, berbicara cukup panjang mengenai lokalisasi Islam oleh kelompok liberal ini. Kemudian beliau memberikan sebuah contoh yang bisa kita lihat faktanya. Misalnya, megapa di Indonesia, menutupi semua badan bagi perempuan justru dicibir, bahkan dicap radikal, padahal busana itu yang paling sesuai dengan syariat Islam?. Salah satu alasannya adalah karena busana itu dianggap bertentangan dengan tradisi dan budaya lokal Indonesia. Tapi tahukah Anda seperti apa budaya asli Indonesia itu? Pada masa lalu perempuan Indonesia tidak memakai kerudung juga tidak memakai baju. Mereka hanya memakai sewek setinggi dada, sebagaimana sering digambarkan di film-film kerajaan kuno Nusantara. Dari sini kita jadi tahu bagaimana mereka “menjaga kearifan lokal”, dan mungkin karena itu pula mereka lebih sreg dengan fashion khas Barat tenimbang aturan berbusana dalam Islam.
Ada sebuah lelucon lucu dari seorang pemikir Indonesia dan saya sangat gemar membaca tulisan beliau. Bapak Adian Husaini, salah satu Dosen di Universitas Ibn Khaldul Bogor. Penjelasan beliau senafas dengan ringkasan status saya di atas. Dan yang ingin saya kutip dari lelucon beliau "Jauh berbeda makna antara Orang Hutan dan Orang di hutan, orang hutan adalah binatang sejenis kera dan bukan manusia, sedangkan orang di hutan bisa jadi maling kayu, jejak petualang, atau tukang penjaga hutan.
Catatan harianku, kutulis di kamar tercinta, bersebelahan Masjid Al Azhar Cairo.
13 Mei 2017

You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari