Makna "Istiwa" (bersemayamnya Allah) menurut al-Ghazali
Juni 19, 2017Makna “Istiwa’” menurut al-Ghazali
Dalam bukunya Ihya’ Ulumu ad-Din, Imam al-Ghazali menuliskan
sebuah pasal khusus yang menerangkan masalah deskripsi akidah Ahlussunnah Wal
Jamaah. Dalam salahsatu judul, al-Gahzali menulis “Mengetahui bahwa Dzat Allah yang Maha Suci
lagi Maha Tinggi hanyalah satu”. Beliau membagi domain menjadi 10 bagian, dan
pada bagian ke 8 al-Ghazali menjawab pertanyaan kita. Apa makna “Istiwa’” bagi
Allah SWT ?.
Beliau menjawab :
“Makna dari Istiwa’ (bersemayam) bagi Allah SWT adalah makna
yang tidak menegasikan sifat kebesaran Allah SWT dan yang tidak memasuki ranah
fana dan sifat kemakhlukan. Yang dimaksud Istiwa yang menyerupai makhluk adalah
memaknai ayat istiwa’ dengan bersemayam di atas langit. Allah berfirman dalam
al-Quran :
ثم استوى الى السماء وهي دخان
“Kemudian Dia menuju
kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap...” (Al Fushilat:
11)
Maka tidak ada cara makna lain kecuali “Menaklukkan dan
Pengambilihan”. Sebagaimana dikatakan oleh penyair Arab:
قد استوى بشر على العراق # من غير سيف ودم مهراق
“Seorang telah menundukkan
(menaklukkan) Negara Iraq, tanpa pedang (peperangan) ataupn darah yang
dialirkan”.
Para Ulama ahlul Haq dan Ulama Batin
merasa darurat untuk mentakwil ayat di berikut:
وهو معكم
اينما كنتم
“Dia bersamamu dimanapun berada “(Al
Hadid : 4)
Maka makna kebersaaan Allah
adalah Maha menyeluruh dan Maha mengetahui, Allah mengetahui gerak gerik
makhluknya. Kemudian hadis Nabi SAW:
قلب
المؤمن من بين أصبعين من أصابع الرحمن
“Hati seorang Mu’min berada di “dua jari” di antara “jari-jari”
Allah” .
Maka maknanya adalah “Takluk dan
Berkuasa”, hati seorang mukmin ada dalam kekuasaan Allah SWT. Kemudian hadis :
الحجر
الأسود يمين الله في أرضه
“Batu Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di
bumi”.
Maka maksudnya adalah bentuk pemulyaan Allah
terhadap batu itu, karena jika dibiarkan atas makna secara leterleg maka akan
rancu, dan hal itu sangat mustahil. Maka demiakian juga dengan makna “Istiwa’”,
jika dipahami dengan maknanya secara leterleg atau tekstual, yakni bermakna
bersemayam layaknya mausia di atas kursi, maka yang konsekuensinya adalah Allah
berupa badan yang menyentuh kepada Ars (Singgasana)—Tidak mungkin—ataupun akan
imbul pertanyaan lebih besarkah atau lebih kecilkah antara kursi dan Allah, dan
ini semuanya mustahil. Apa saja yang berkonsekuensi pada hal yang mustahil maka
itu mustahil.” (Ihya’ Ulumuddin hlm. 181 Dar-Al Quds, cet pertama Th. 2012)
*Penerjemah : Ali Afifi
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo.
0 komentar