Peran Al-Azhar dalam Moderasi Islam

Agustus 20, 2017

 *foto Masjid Al-Azhar Th. 1906 M. diambil oleh David Gardinet, suasana para pelajar sedang melaksanakan ujian versi lawas

   Oleh: Ali Afifi
(Mahasiswa Universitas Al-Azhar)

Pantas saja jika Al-Azhar dijuluki pusat moderasi Islam. Di sebuah negeri aliran Nil tersebut, Al-Azhat menjadi salah satu implemetasi  ideologi moderat yang dianut mayoritas penduduknya. Bagaimana tidak, di kala api fitnah berkobar di antara kaum muslimin mulai dari terbunuhnya Sayyidina Ustman bin Affan, terpecalah umat Islam menjadi beberapa kubu. Kubu pendukung Sayyidina Ali Ra sebagai Ahlul Bait bertolak belakang dengan kubu pendukung Sayyidina Muawiah bin Abi Sufyan. Tidak berhenti pada perbedaan politik, perpecahan itu semakin berkembang hingga pada ranah ideologi dan ajaran. Pada saat itu mulai bermunculan hadis-hadis palsu dari setiap kubu, men-setting sedemkian rupa untuk mendukung kelompoknya. Rasa benci terhadap Sahabat mulai tumbuh pada satu kalangan, juga kebencian terhadap Ahlul Bait di kalangan yang lain. Korbanpun berjatuhan, utamanya Ahlul Bait seperti Sayyidina Husain dalam peristiwa Karbala.  Tetapi lihatlah masyarakat Mesir kala itu, mereka tidak memihak pada Ahlul bait maupun Sahabat, justru mereka mencintai keduanya. Keturunan Rasulullah mulai berhijrah ke Mesir untuk mencari keamanan, di sana Ahlul Bait diterima masyarakat dengan rasa cinta hingga membuat komunitas. Maka sangat benar apa yang dikatakan al-Habib Ali Jufry dalam pidatonya saat berkunjung ke Mesir 
 :
" محبة ال لبيت عليهم السلام في مصر محبة نقية لا تنفصل عن محبة الصحابة رضي الله عنهم ولا تقبل التطاول عليهم "

            “ Kecintaan masyarakat Mesir terhadap Ahlul Bait adalah kecintaan yang murni, kecitaan yang tidak terpisah dari kecintaan terhadap para Sahabat Ra. bahkan mereka tidak menerima cacian dan hinaan terhadap para Sahabat Nabi Saw.”

            Di Mesir, penulis tinggal berdampingan dengan masjid al-Azhar, bukan hanya masjid yang berdiri kokoh, masyarakat dalam distrik al-Azhar berbeda dari masyarakat lainnya. Nuansa agamis begitu kental implementasinya di sana, pantas saja demikian sedagkan di atas tanah inilah para Ulama Azhari dilahirkan dan menimba ilmu. 




*foto, topi merah bergulung sorban putih adalah busana khas para pelajar Al-Azhar
           
 Dalam satu kesempatan, penulis bergegas untuk melaksanakan sholat jumat di masjid Al Azhar. Masyarakat sudah berdesak berebut duduk di barisan terdepan, berharap dengan jelas mendengar khutbah dan duduk berdekatan dengan para ulama yang juga biasa sholat di masjid tua ini. sebagaimana kebiasaan majid-masjid di Mesir lainnya, setengah jam sebelum adzan jumat dikumandangkan, biasanya kami dihidangkan lantunan bacaan al-Quran dengan bacaan ala Mesir yang khas. Pantas saja jika dikatakan oleh sebagian tokoh; “Al Quran turun di Makkah, dibaca di Mesir, dan diterapkan di Palestina”. Sungguh sangat merdu bacaan al Quran orang Mesir, dan tentunya tanpa mendiskreditkan negara lainnya. Madzhab yang diterapkan di masjid al Azhar dalam sholat lima waktu dan sholat jumat adalah madzhab as-Syafi’i, meskipun nantinya ma’mum sholat dengan madzhab masing-masing selama perbedaa itu tidak jauh berbeda semisal menggerakkan telunjuk saat tahiyyat dan perbedaan meletakkan tangan saat berdiri. Mekipun madzhab Syafi’i yang sering diterapkan, tak jarang yang menjadi imam sholat dalam banyak kesempatan adalah ulama dalam madzhabnya, seperti Maliki, Hanafi, dan Ahmad. Maka dari itulah adzan saat sholat jumat dilakukan dua kali, pertama ketika waktu dzuhur masuk dan kedua saat khotib menaiki mimbar.  Adapun Darul Ifta’ (Majelis Fatwa ) meggunakan Madzhab Hanafi sebagai madzhab resmi dari peninggalan pemerintah dinasti Utsmaniyah. 




            Dalam pelaksanaan sholat jumat itu, yang akan menyampaikan khutbah adalah  Syekh Dr. Muhammad al-Jubbah; seorang ulama Azhar yang terbilang masih muda. Tetapi umur tak menetukan tingkat kealiman seseorang, hanya mereka yang berusahalah yang akan memetik hasilnya. Khutbah beliau begitu tegas, lugas, dan juga jelas. Temanya begitu familiar bagi para jamaah, dibungkus dengan bahasa yang mudah dipahami, terlebih lagi khutbah itu disampaikan di masjid yang monumental ini. Dalam khutbah beliau:


            “Jika setiap kita melihat dengan teliti satu persatu negara-negara Islam di dunia ini, kita akan melihat satu hal yang menarik. Dimana setiap negara menganut sebuah madzhab tertentu dalam fikih maupun aqidah. Sebuah madzahab diterapkan, dipelajari, dan dicetak bukunya dalam satu negeri. Jika kita melihat negara bagian barat higga ke ujung seperti Maroko, di sana Madzhab Imam Malik diterapkan, dipelajari, dicetak bukunya, dan lahir para Ulama dalam madzhab Maliki. Jika kau menelisik negara Turki dan sekitarnya, akan menemukan madzhab Imam Abu Hanifah. Di negeri Melayu seperti Indonesia dan Malaysia, akan ada madzhab Imam as-Syafi’i diterapkan, dipelajari, dan dicetak kita-kitabnya. Sedangkan di negara Jazirah Arab, kau akan melihat madzhab Imam Ahmad bin Hambal di sana. Di negara Oman, kau akan melihat madzhab Ibadhiyah. Di sebagian negara Yaman, kau akan menemukan madzhab Zaidiyah. Di negara Iran, kau akan menemukan madzhab Syiah Itsana Asyariyah. Dan dari itu semua, jika kau meihat negara kita Mesir, kau menemukan semua madzhab diterapkan, depelajari, dicetak bukunya, dan dilahirkan ulama-ulamanya tanpa ada rasa fanatik. Kalian tahu mengapa demikian? iya, itu karena di dalamnya ada Al Azhar as Syarif.....”.

         
   Demikian fatktanya, Al Azhar tidak terbatas mempelajari satu madzhab tertentu melaikan menjadikan semua masdzhab yang ada sebagai bahan ajaran. Di dalam masjid Azhar terdapat banyak Ruwaq (sekat-sekat dalam masjid), yang biasanya digunakan untuk kegiatan belajar mengajar metode klasik, yakni dengan model talaqqi antara guru dan murid. Semua madzhab kami pelajari untuk dijadikan perbandingan, mencari kebenaran dan titik temu antar pedapat para ulama. Setelah berabad lamanya Al Azhar menerapkan pendekatan antar madzhab, dan melakukan klarifikasi secara intens, hanya ada 4 madzhab fikih yang diyakini keontetikannya, yuitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan madzhab aqidah, hanya Asy’ary dan Maturidi yang kini menjadi madzhab resmi Al Azhar.
Mejadikan madzhab di atas sebagai madzhab resmi dan diyakini kebenarannya, namun bukan berarti kemudian meninggalkan madzhab lainnya yang sudah terkenal sesat seperti Syiah, Wahabi, Ikhwani dan Liberal tetapi pendekatan antar madzhab tetap diajarkan bahkan sampai mepelajari kajian yang dialakukan orientalis Barat.


Inilah salah satu rahasia yang hanya diketahui pelajar Al Azhar, disetiap kali pembelajran kami disajikan dengan banyak sekali perbedaan pendapat, kemudian membongkar dari akar atas landasan apa seuah pendapat dalam ajaran tersebut. Pendapat ulama ini dan itu dikritik habis-habisan, madzhab ini dan itu ditelanjangi hingga selesai, dan tentunya semua itu dilakukan dengan sangat ilmiah. Itu semua hanya dalam majlis ilmu, namun di luar majlis seperti di kalangan masyarakat awam,  guru-guru kami menyatukan umat, membentengi perpecahan, menerima semua kalangan, merangkul dengan rahmat, dan menanamkan rasa cinta terhadap semua golongan. Jadi di sinilah yang banyak tidak diketahui publik,  sering kali Al Azhar divonis liberal maupun radikal, karena kekurangpahaman dengan metode yang diterapkan Al Azhar. Wallahu a’lam 



You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari