"Tuhanku adalah Tuhanku, cintaku
adalah cintaku"
Ada sebuah
kisah menarik mengenai permasalahan fikih yang ditulis oleh seorang ulama
bermadzhab Syafi’i. Kisah ini diambil dari kisah nyata yang menimpa seorang
gadis muda di negeri Saba’ Yaman. Dia telah menikah dengan seorang pria
berkebangsaan Yaman dan bermarga Bafaqirah. Setelah mereka berdua melakukan akad nikah
yang sah secara agama dan negara, Sang suami berpamit kepada Sang istri untuk
merantau dengan alasan mencari nafkah keluarga. Dengan rasa berat hati, Sang
istripun mengijinkan, meski hidup sendiri ditinggal seorang suami baginya
sangatlah berat.
Berthun-tahun
gadis itu ditinggal suaminya, nafkah lahiriah yang dijanjikan hingga kini tidak
juga ia dapatkan, apalagi nafkah batin akibat ditinggal sendirian selama
bertahun-tahun. Dia merasa tidak sabar, hidup tanpa suami, tanpa nafkah dalam
waktu yang sangat lama.
Akhirnya
gadis itu yang kini usianya tak lagi pantas dipanggil gadis, pergi bertamu
kepada seorang ulama Yaman bernama Habib Abdurrahman al-Masyhur, yang ketika
itu dianggap paling paham dengan permasalahan agama. Dia menceritakan segala
keluannya kepada Habib, respon Habib
sangat baik sekaligus senada dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Si
wanita itu. Habib menyuruhnya untuk pergi kepada hakim, dan meminta untuk mem-Fasakh
akad nikah lamanya, dan kemudian menikah dengan pria lain yang lebih
bertanggungjawab. Maka datanglah seorang lelaki bernama Abud ba-Dubba’ untuk
menikahinya dan menjadi suami barunya.
Wanita itu
hidup bahagia bersama suami barunya, nafkah lahir batinnya kini terpenuhi
dengan sangat baik. Pada suatu hari, tiba-tiba ada seorang pria asing mengetuk
pintu ruamhnya, wajahnya tidak bergitu asing, dan ternyata lelaki itu adalah
suaminya yang dulu pernah menikahinya namun pergi tanpa meninggalkan jejak. Suami
lamanya terlihat marah, melihat istrinya bersama laki-laki lain. Wanita itu
telah menjelaskan bahwa dia bukan lagi istri sahnya, sebab dia juga sudah di-fasakh
secara sah. Spontan lelaki itu
terdiam, mengakui kesalahannya dan meninggalkan mantan istrinya hudup bahagia
bersama pria yang lebih bertanggungjawab.
Kajadian ini
didengar oleh warga setempat, wanita itu menjadi bahan pembicaraan yang kurang
baik. Suatu hari si wanita sedang mengambil air minum di kediaman Habib
Abdullah Alydrus, di sana ada seorang pemuda yang kebetulan sedang lewat,
pemuda itu bertaya kepda si wanita tetang apa yang sedang ramai dibicarakan,
namun dengan maksud mengejek, “Bagaimana kau meminta fasakh suamimu?”. Si
Wanita menawab, “Aku melakukannya dengan sah secara agama yang dibawa Muhammad
Saw”. Kejadian itu didengar oleh Habib Abdullah Alydrus, kemudian beliau
melarang pemuda itu mengejeknya.
Pun
demikian, kabar semakin meluas di kalangan masyarakat. Semakin hari semakinb banyak
yang mengejak wanita itu. kamudian dengan jawaban lantang dia mengatakan kepada
orang-orang yang mengejeknya, “Tuhanku adalah Tuhaku, Cintaku adalah cintaku”. Kalimat
itu didengar oleh Habib Abdullah Alydrus, kemudian kalimat itu digunakannya
untuk banyak permasalahan dan dijadikan sebuah pribahasa.
(Dikutip
dari buku : “Syarh Yaqut an-Nafis fi Madzhab Ibn Idris” karya Muhammad
bin Ahmad bin Umar as-Syatiri. Saudi Arabia: Dar al-Minhaj, cet. ke tiga, tahun
2011 M./ 1432 H. hlm; 669)
Kesimpulan
dari penerjemah adalah:
· 1. Setelah akad nikah dilakukan, suami wajib menafkahi
istri dengan nafkah lahir maupun batin.
· 2. Istri yang ditinggal suami dalam waktu yang lama tanpa
ada kabar dan tanpa nafkah, dia boleh meminta cerai kepada hakim yang dinamakan
dengan fasakh.
· 3. Bersatunya dua insan yang sah secara agama, juga harus
berpisah dengan cara yang sah secara agama.
· 4. Tidak boleh mengejek orang lain yang tidak terbukti
besalah.
· 5. Jangan perdulikan anjing menggong-gong selama kau
berada di jalan yang benar dan diridlai Allah Swt.
· 6. Senantiasa bertanya kepada orang yang paham agama
dalam permasalahan agama.
·
Taat dengan hukum agama dan negara.
· 7. Selayaknya pernikahan harus dibangun atas cinta.
Wallahu Ta’ala
a’lam bis-showab
Penulis sekaligus penerjemah: Ali
Afifi
Cairo, 25 September 2017