Hizbuttahrir; dari Aqidah hingga Ilusi Negara Khilafah
Maret 10, 2019Oleh: Ali Afifi
1. Negara
Khilafah
Hal pertama
yang ingin penulis sampaikan bahwa,
Khilafah Islamiyah adalah salah
satu cara perpolitikan Umat Islam, namun perlu dipahami juga bahwa Islam
bukanlah agama politik, sehingga sistem pemerintahan yang pernah diterapkan
oleh Umat Islam tidak rigid, alias merupakan sistem baku yang wajib diterapkan dan
selainnya adalah haram. Jadi jangan sampai ada klaim bahwa menolak sistem
khilfah artinya menolak ajaran Islam, bukan juga musuh Islam, karena ini adalah
perihal sistem, bukan persoalan akidah.
Para ulama
sepakat bahwa mengangkat seorang pemimpin hukumnya wajib, dalam literatur
keilslaman ada yang menyebutnya “Khalifah” ada juga “Imam” dan ada juga “Amirul
Mu’inin”. Terlepas dari label itu semua, kepemmpinan dalam Islam adalah sesuatu
yang urgent, karena menyangkut keberlangsungan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang adil,
teratur dan terjaga.
Perdebatan
dalam tubuh Umat Islam saat ini, apakah sistem khilafah itu harus kembali diterapkan
atau sah-sah saja tidak menerapkannya. Dalam mukaddimah Maqalat Islamyyin Imam Asy’ari
menjelaskan, rekaman
historis Umat ini
membuktikan, hal pertama yang memicu perpecahan Umat Islam adalah
wacana Khilafah alias kepemimpinan. Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kaum Muhajirin dan
Anshar berselisih dan saling mengangkat calon pengganti Rasulllah SAW. Singkat
cerita, pada akhirnya mereka bersepakat untuk menjadikan Sayyidina Abu Bakar
sebagai Kalifah Raslulullah Saw.
Nabi bersabda,
bahwa khilafah dengan tuntunan Nabi (ala minhajin Nubuwwah) hanya
berlangsung selama 30 tahun, dan setelahnya adalah sistem kerajaan. Itu
menandakan bahwa yang menyandang gelar khalifah secara sempurna adalah 4
khalifah, yang dikenal dengan al Khulafa ar Rasyidin. Sedangkan setelahnya
adalah raja. Apakah kemudian dinasti-dinasti yang ada tidak wajib ditaati,
justu sabaliknya, mereka telah berusaha menpresentasikan kempemimpinan Islam,
dibawah satu komando yang berpusat pada Khalifah, yang juga wajib ditaati.
2. Hizbuttahrir
dengan Narasi Khilafahnya dan Sistem Tatanan Negara Modern
Ia adalah
sebuah gerakan yang mempromosikan kembali sistem khilafah Islamiyah dengan
manhaj Nabi Saw. Dan dalam pembahasan singkat sebelumnya kita telah menbahas
secara sangat singkat behwa khilfah bukan sisitem baku, kalaupun yang
dipromosikan adalah khilafah dengan tunutunan Nabi, Nabi Muhammad sudah
menjelaskan bahwa umur Khilafah hanya 30 tahun. Artinya Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah hingga Ustmaniyah bukanlah Khilafah Nubuwaah, melainkan khilfah
secara majaz, alias tidak sempurna.
Lalu apakah
mempromosikan sistem khilafah adalah tindakan haram? Jawabnnya adalah tidak.
Selama sebuah sistem itu tidak diperintah dan tidak juga dilarang, silahkan
saja berusaha semaksimal mungkin, namun mungkinkah negara khilafah kembali
bangkit? Ataukah sekedar ilusi? Tanpa malihat sabda Nabi di atas saja, melihat
keadaan Negara dan Bangsa Modern sudah terasa sangat mustahil.
Syekh Ali Jumah,
Mufti
agung Mesir menjelaskan, sistem khilafah adalah impian setiap Muslim, namun
melihat keadaan umat modern sekarang ini sulit rasanya untuk kembali diterapkan, melihat
juga keadaan umat Islam
yang sedang dalam keterprukan.
3. Ilusi
Negara Khilafah
Persatuan Umat Islam seperti yang
pernah terjadi beberapa
abad sebelumnya di bawah naungan seorang kholifah adalah impian seorang Muslim,
namun yang perlu diperhatikan adalah pentingnya seorang Muslim memahami keadaan
sekitarnya dan tidak merasa egois dalam menawarkan dan mempromosikan
ideologinya kepada orang lain.
Penulis
pribadi mengingnkan kejayaan Islam kembali, kajayaan dalam bidang keilmuan,
ekonomi, politik dan budaya. Namun secara ilmiah dan argumentasi, penulis
menolak sisitem khilafah yang ditawarkan oleh Hizbuttahrir. Mengapa?
Untuk
menjawab hal itu, penulis mengutip perkaataan para fuqoha yang dikutip oleh Dr.
Ridwan Sayyid dalam bukunya “as Shara ‘ala al Islam” hal. 258 bahwa:
أن الشأن السياسي ليس شأنا تعبديا, والإحتكلم
فيه للمصالح لا للنصوص
“Bahwasanya perkara politik bukanlah tentang peribadatan (sistem
dogmatis), dan keputusan hukum di dalam perpolitikan adalah sejauh mana manfaat
bagi manusia, bukan dengan teks-teks agama.”
Itu atinya,
jika sisitem khilafah yang telah terekam sejarah bukanlah sistem baku, artinya
setiap manusia boleh berijithad selama itu baik untuk orang lain. Mengapa tidak
baku?...
Jika kita
menelisik lebih jauh ke dalam buku-buku sejarah Islam, terutama dalam politik,
sisitem yang dilakukan para khilafah adalah sisitem yang selalu berubah-ubah,
mulai dari pemilhan yang dilakukan oleh Kuam Muhajirin dan Anshar dalam memilih
Abu Bakar ra, kemudian penunjukan khalifah secara langusng oleh Abu Bakar dalam
mengangkat Khalifah Umar ra, dan dibntuknya badan yang nantinya akan memilih
khalofah oleh Umar dalam memilih Ustman ra, dan dibai’atnya oleh kaum Musimin
dalam pengangkatan Sayyidina Ali ra.
Lalu sisitem yang mana yang diangap baku?. Lebih jauh dari itu, setelah
sistem khilfah berhenti, diterapkannya lah sistem monarki dan kerajaan oleh
Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kemudian terpecahnya menjadi beberapa negara
kecil di setiap daerah,
setiap pemimpin menobatkan didirnya sebagai khalifah, meski ada dinasti
Ustmaniyah. Wal hasil, sisitem khilfah adalah hasil ijtihad manusia, bukan dari
wahyu.
Jika melihat
tatanan dunia moderan saat ini, kita merasa penerapan kembali sisitem khilfah
adalah hal yang mustahil alias khayalan. Dalam hal ini, Dr. Abdullah Mabruk
Najjar, anggota Islamic research di Al Azhar Kairo memberi dua alasan.
Pertama:
Negara-negara besar sudah menolak sisitem ini kembali diterapkan.
Karena mereka sudah melihat negara mereka
nyaman dengan pembagian negara modern, daripada dileburkan menjadi satu negara
besar yang masih remang-remang
Kedua:
Negara-negara sulit berlebur.
Mereka
melihat, menjalankan apa yang sudah berjalan lebih baik daripada memulai
kembali membangun dan menhancurkan bangunan yang sudah ada. Karena bagaimapun,
jika diterapkan kembali negara khilafah, badan-badan, trias politika, dan
segala yang sudah terbentuk di dalam tatanan neara modern harus dibubarkan.
4. Setiap
Kita Adalah Khalifah
Tidak ada ulama fikih ataupun aqidah
dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang mengatakan bahwa syariat telah
memerintahkan untuk mendirikan negara khilafah, atau negara Islam sekalipun.
Yang Al-Quran perintah adalah bersatunya umat Islam, namun tidak harus berupa
persatuan yang dihimpun dalam satu kepemimpinan politik.
Allah SWT
berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ
عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Dalam Tafsir
al Qurtubi, diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang dimaskud “Habl” atau dalam makna
leterlegnya “tali”, yang dimaksud adalah al-Quran. Dan dalam riwayat lain, dari
Abdullah bin Mas’ud artinya “Jamaah”. dari sini dapat dipahami, bahwa persatuan
Umat adalah persatuan manhaj, persatuan dan hal ushul, akidah dan keyakinan.
Dalam
paragraph selanjutnya Imam al Qurtubi menjelskan, bahwa dalam ayat ini Allah
melarang perpecahan dan menyuruh untuk bersatu. Allah tidak melarang perbedaan
penrdapat dalam hal furu, tapi Allah melarang perpecahan yang berakibat pada
permusuhan.
Syekh Ali
Jumah menjelaskan, dalam bukunya “al Qaulu Mubin fi Umur ad Dunya wa ad Din”,
ada bebrapa hal yang bagi
seorang Muslim tidak
boleh ada
perbedaan, yaitu dalam hal ushul “al malum minaddin
biddarurah”. Yang semuanya berawal dari dalil qath’i. adapun yang berasal dari
dalil dzanni, maka sejak zaman sahabat sudah ada perbedaan, contohnya perdedaan
sahabat perihal isra Mi’raj Nabi Saw, apakah beliau melihat Allah atau tidak.
Ibunda Aisyah mengatakan beliau tidak melihat Allah, sedangkan Ibn Abbas
mengatakan bahwa Nabi melihat Allah.
Wal hasil, jika ayat
ini kemudian dijadikan dalil untuk mendirikan khilafah, sudah jelas salah
kaparah, apalagi mengatakan bahwa sistem khilaah adalah sistem yang sudah
baku.
Adapun ayat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".
Ayat ini bukan juga dalil keharusan mengakkan
khilafah, terlebih lagi dalil bahwa Umat Islam harus menguasai perpolitikan
dunia supaya menejadi ajaran yang diterima semua kalangan.
Ayat di atas sebagaimana dikatakan oleh al Mufassir
Imam Ibn Asyur, kalmiat “Khalifah” adalah orang yang mengantikan atau
melanjutkan estafet dari orang sebelumnya. Dalam ayat tersebut, menyandarkan
kalimat Khalifah kepada Allah adalah majaz,
karena Allah tidak pelru wakil dan pegganti, Allah adalah pengatur segala alam
semesta. Makna khlifah Allah di muka bumi adalah menjalankan peran manusia
sebagai hamba Allah, untuk menjaga bumi, meramaikannya, membuat penemuan dan
perkembangan dalam bidang ilmu, ekonomi maupun social, menjalankan sunnatullah yang telah ditetapkan. Jadi dari sini,
dapat dipahami bahwa makna khalifah Allah bukanlah kepemimpinan, melainkan
tugas sebagai pemelihara bumi,
mengembalikan pada Sang penciptanya. Dan tugas itu adalah tugas kita semua, semua umat
manusia.
Sedangkan kalimat khalifah yang bermakna kepemimpinan
adalah 4 khalifah Nabi Saw, Abu Bakr,
Umar, Utsman, Ali dan Hasan bin Ali. Yang itu semua sebagaimana Nabi jelaskan dalam hadisnya hanya berumur 30
tahun. Sedangkan nama khilafah setelahnya, sebagaiman dijelaskan Syekh Ali
Jum’ah adalah sebatas nama, dan majaz, bukan khilafah yang berdiri atas manhaj
Nabi Saw.
5. Penghormatan
Kepada Khilafah Islamiyah
Kita
membedakan, ideologi Hizbuttahrir mengenai khilafah dengan pola pandang kami
dalam melihat khilafah dan pandangan kaum sekuler yang benar-benar menolak
sistem khilfah.
Yang kami tolak adalah
cara promosi, kedog, pemahaman sesat yang dilakukan oleh Hizbuttahrir dalama
memahami khilafah. Namun kami sebagai pelajar Islam memiliki ideologi dan
pemahaman yang mapan mengenai khilafah. Oleh karenanya, jangan lagi ada
teriakan “Jika menolak kholafah yang diteriaakn Hizbuttahrir berararti menolak
khilfah yang pernah jaya”. Sekali lagi tidak demikian. Menolak Hizbuttahrir
bukan berarti
menolak khilafah,
ibarat tidak membeli bakso buatan pak Budi berarti tidak suka bakso, kita hanya
menolak sistem khilfah yang ditawarkan hizbuttahrir karena membayakan keutuhan sebuah negara
modern, kita hanya tidak suka bakso buatan pak Budi, tapi kami suka bakso Pak
Slamet,karena rasanya enak.
Lalu
bagaimana komentar kami mengenai khilafah ar Rasyidah dan Dinasti-sdinasti
Islam setelahnya,?. Kami jawab mereka telah berus sekuat tenaga dan pikiran
untuk memakmurkan
rakyat
dunia, bukan hanya Umat Islam tapi juga seluruh manusia. Pada masa-masa itu ada
masa keemasan, di mana Umat Islam naik
daun dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial. Namun terlepas dari itu semua,
mereka masih manusia, tidak terlepas dari salah dan dosa, bukankah kita
melihat begitu dasyatnya peperangan saudara? Bebrapa Ulama dikriminalisasi
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagainya? Intinya semua memiliki
nilai min dan plus.
6. Teologi Hizbuttahrir
Ulama dari
zaman ke zaman bersepakat, akidah yang benar-benar mengikuti titiah Rasulllah
Saw adalh Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun istilah ini “diperkosa” oleh bebrapa
sekte yang mengaki Ahlussunnah padahal ajarannya bertentangan dengan ajaran
Islam, Mujassimah misalnya, Mu’tazilah yang menaku Ahluttauhid, Syiah dan
Jahmiyah, maka ulama kembali menegaskan dengan mengatakan Ahlussunnah adalah
Asya’irah,
Maturidiyah, Sufiah dan
Ahlul Hadist.
Jika dibaca
dari sejarah, pendiri Hizbuttahrir adalah Syekh Taqiyuddin an Nabhani, seorang
sarjana Al Azhar asal Paletstina. Dalam buku beliau, banyak sekali yang
mengiyakan pendapat Mu’tazilah perihal Aqidah atau Teologi, seperti mengingkari
azab kubur dll. Meski kita tidak mengklaim belaiu murni Mu’tazilah.
Tapi penulis
tidak akan panjang membahas bab ini karena lebih pantas dipisahkan dalam
makalah dan buku yang lebih fokus dan mendalam. Penulis merekomendasikan buku
Ustad Idrus Ramli dalam membantah akidah Hizbuttahrir, karena beliau sudah
cukup lama menggeluti ajaran ini.
Namun dalam
hal ini ada sebagian aktivis Hizbuttahrir mengelak ajaran Mu’tazilah yang
diasopsi oleh an Nabhani. Dengan alasan yang diambil dari beliau adalah
semangat mendirikan khilfahnya, bukan aqidahnya. Demikian juga an Nabhani tidak
mewakili pemikiran setipa kepala dari personel Hizbuttahrir.
Pernytaan ini mudah dibantah, telah masyhur di kalangan aktivis ilmiah dan
cendikiawan Muslim, bahwa jika akan mengkritik sebuah sekte dilakukan dengan
merujuk langsung kepada literatur rujukan mereka, atau buku pendiri ajaran
tersebut, atau para ulamanya. Jika pendiri Hizbuttahrir adalah An Nahbhani,
artinya saat akan mengkritiknya, harus melihat apa yang ditulis sang pendiri.
Karena tidak mungkin kita menghukumi orang Indonesia adalah pencuri hanya
karean pak Tukimin mencuri. Tapi untuk menghukumi Indonesia adalah dengan
melihat ideologi
negara, buku-buku ulamanya dan tokoh agamnya. Sebagaimana kita
mengkrtitik ajaran Syiah dari 4 buku rujukan syiah yang salahsatu nya al-Kulaini dalam Al Kafi.
Wallahu Ta'ala a'lam bi Shawab
Cairo, 11 Maret 2019
0 komentar