Nasihat Kritis-Logis Grand Syaikh Al-Azhar untuk PBNU
Maret 01, 2019
Nasihat
Kritis-Logis Grand Syaikh Al-Azhar untuk PBNU
Oleh: Ali Afifi
(Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo)
(Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo)
Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai ormas terbesar di Indonesia—yang berbasis Ahlussunnah Wal
Jama’ah— telah menjadi sorotan seluruh gerakan keislaman seantero dunia,
termasuk oleh Al-Azhar al Syarif di Mesir. Organisasi kemasyarakatan yang diprakarsai oleh KH. Hasyim As’ari
bersama beberapa ulama Nusantara ini telah menjadi identitas tersendiri bagi
Muslim di negara Indonesia, ajaran yang dibawa oleh sudagar Arab secara lemah
lembut tanpa pertumpahan darah. Sebut saja Wali Songo, yang konon melalui tangan
merekalah Islam sampai di Indonesia. Meski sejarah masuknya Islam ke Indonesia
masih terjadi perdebatan, yang ingin penulis tekankan adalah Islam yang sampai
ke Indonesia adalah Islam yang ramah, Islam yang tidak anarkis. Namun kita
semua tidak boleh lupa, dari mana Islam—lemah lembut—ini datang jika bukan dari
Rasulullah Saw, Si berjiwa mulia yang dimakamkan di Kota Madinah itu.
Ajaran yang
dianut NU—sebagaimana termaktub dalam buku KH. Hasyim Asy’ari— adalah Ahlussunnah
Wal Jamaah, berteologi Imam Abu Hasan Al Asy’ari – al Maturidi, bermazhab salah
satu dari yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), serta bertasawuf
Imam al Ghazali dan Abu Hasan as Syadzili.
Dari trilogi inilah, kemudian menjadi titik temu antara NU dan Al Azhar.
Secara asas
fundamental keduanya satu haluan, bahkan tidak ada perbedaan, namun ada beberpa
poin yang menjadi koreksi bagi NU dengan kedatangan Grand Syaikh Al Azhar;
Prof. Dr. Ahmad el Tayyib pada 2 Mei 2018 di PBNU jakarta. Mengingat ada
beberapa keresahan umat Islam yang hingga saat ini belum memiliki jawaban telak.
Yaitu terkait statement-statement kontroversial kalangan elite NU beberapa tahun terakhir, salahsatunya munculnya istilah ISLAM NUSANTARA.
Jika kita
merujuk pada seluruh penyokong gerkan Islam Nusantara ini, yang kita dapatkan
adalah pemecahbelahan umat, kefanatikan suku dan over-narsisme. Secara jelas dan gamblang
“tanpa sensor”, salah seorang tokoh memberikan pengertian bahwa Islam Nusantara
adalah Islam yang lemah lembut, Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang
bukan “Islam Arab”.
Dua kalimat
sebelumnya secara teori sah-sah saja, namun kalimat terakhir itu adalah bentuk
diskriminatif atas suatu bangsa, pemecah-belahan umat, serta ujaran kebencian. Ada juga yang berorasi, "Islam Arab adalah Islam penjajah". Semua itu jelas sekali memeca belah saudara.
Padahal memecah belah umat telah diperingatkan oleh pendiri NU itu sendiri. Dalam kitabnya yang berjudul Risalah ahlussunnah wal Jammah, KH. Hasyim Asy’ary –setelah menjelaskan beberapa sekte sesat yang mulai muncul di bumi Jawa, beliau memberi nasihat kepada kaum Muslimin, diksi Arabnya sebagaiberikut:
Padahal memecah belah umat telah diperingatkan oleh pendiri NU itu sendiri. Dalam kitabnya yang berjudul Risalah ahlussunnah wal Jammah, KH. Hasyim Asy’ary –setelah menjelaskan beberapa sekte sesat yang mulai muncul di bumi Jawa, beliau memberi nasihat kepada kaum Muslimin, diksi Arabnya sebagaiberikut:
فنحن نحض إخواننا
عوام المسلمين أن يتقوا الله حق تقاته وأن لا تموا الا وهم مسلمون, وأن تصلحوا ذات البين منهم, وان يصلوا الأرحام, وأن يحسنوا الي
الجيران والأقارب والإخوان, وان يعرفوا حق الأكابر وأن يرحموا الضعفاء والأصاغر,
وننهاهم عن التدابر والتباغض والتقاطع والتحاسد والافتراق والتلون في الدين,ونحثهم
ان يكونوا إخوانا, وعلي الخير أعوانا, وان يعتصموا بحبل الله جملعا ولا تفرقوا
...الخ
“Saya menghimbau kepada
saudar-saudara Muslim semua supaya senantiasa bertqwa kepada Allah Swt. dan
janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan beragama Islam. Mempererat
antar kerabat, menyambung tali silaturahim, berbuat baik kepada tetangga,
kerabat, mengetahui hak-hak orang yang lebih dewasa, dan menyayangi orang-orang
lemah dan yang lebih muda. Saya juga melarang supaya tidak saling bermusuhan,
bertengkar, saling hasad, tidak berpecah belah, tidak membuat warna-warna
dalam beragama, dan saya
menganjurkan agar supaya kalian semua menjadi saudara, saling membantu dalam
kebaikan, dan berpegang teguh dengan agama Allah dan janganlah
bercerai-berai...” (KH.Hasyim As’ary, Risalah Ahlussunnah Wal
Jamaah, fi al hadist al mauta wa as sa’ah, wa bayan mafhum as sunnah wa al
bid’ah, Tebu Ireng Jombang, Maktabah at Turats al Islami, hal. 15).
Kemudian
dalam definisi Islam Nusantara itu dititikberatkan pada kata “Yang bukan Islam
Arab”. Orang awam pasti menganggap di sini ada sekat antara Nusantara dan Arab,
padahal Islam lemah lebut, yang menjaga buadaya lokal, yang tidak anarkis itu
datangnya dari Arab. Umat Islam diperintahkan mencintai Rasulullah Saw,
mencintai Sahabat dan keluarga Nabi, serta mencintai suku Nabi, bukan karena
sebagai suku tertentu, tapi karena Nabi Muhammad diutus dari suku tersebut,
oleh sebabnya ada gurauan diantara para pemikir, seandainya Nabi diutus di
Jawa, maka saya akan sangat mencintai suku Jawa, bukan karena suku itu seniri,
melainkan kerena termasuk dari suku itulah Nabi diutus. KH. Hasyim Asy’ari.
Mengenai
kecintaan terhadap suku Arab ini, dalam buku yang lain, dengan
judul “An-Nur al-Mubin fi mahabbati Sayyidi al-Mursalin”, ada pasal ke 7
“Pasal tetang tanda-tanda cinta kepada Rasulullah Saw”. Kh. Hasyim Asy’ari menuliskan,
لمحبة رسول الله
صلى الله عليه وسلم علامات, فمن ظهرت فيه كان صادقا في حبه النبي صلى الله عليه
وسلم, وإلا لم يكن صاقا في حبه وكان مدعيا.
“Terdapat
tanda-tanda kecintaan terhadap Nabi Saw, jika ada tanda-tanda berikut berati ia
benar- benar mencintai Nabi, jika tidak ada berarti dia hanyalah mengaku-ngaku saja”.
Kiyai Hasyim menyebutkan banyak sekali tanda-tanda
kecintaan seseorang terhadap Rasulullah Saw, yang salah satunya beliau menulis,
“Termasuk tanda kecintaan kepada Nabi Saw adalah mencintai orang yang
dicintai Rasulullah…,” kemudian Kiyai Hasyim menukil hadis yang bunyinya,
قال عليه الصلاة والسلام: من أحب العرب فبحبي أحبهم و من أبغضهم
فببغضي أبغضهم.
Nabi Saw.
bersabda: “Aku mencintai orang yang
mencintai Arab, dan aku membenci orang yang membenci Arab”. ( KH. Hasyim Asy’ari, An-Nur
al-Mubin fi mahabbati Sayyidi al-Mursalin, Ponpes Tebu
Ireng Jombang, Maktabah al Turats al Islami, hal. 16-18)
Kecintaan
terhadap suku Nabi Saw yaitu suku Arab adalah sebuah kewajiban, bukan mencintai
Arab sebagai suku di antara suku-suku, maliankan karena Allah Swt telah
mengutus Nabi Muhammad dari suku itu. Melihat urgensi permasalah—yang seakan
sepele—ini, Imam Ibn Hajar al Haitami menulis sebuah buku yang mengumpulkan hadis-hadis tentang
keutamaan suku Arab yang berjudul “Mablaghul Arab fi fakhril ‘Arab”. Buku
ini adaah kumpulan riwayat hadis hasil ringkasan dari tulisan Syaikhul Islam al
Hafidz Abu Husain Abdurrahman al Iraqi.
Para pembaca
–saya kira—sudah paham siapa tokoh yang sedang kita bicarakan, ya, ketua PBNU
yang kerap kali menuai kritikan pedas dari kiyai-kiyai dan tokoh NU itu
sendiri, tanpa menyebut namapun sudah sangat jelas.
Dalam
pertemuannya bersama Grand Syaikh Azhar di jakarta itu mencatat sebuah sejarah
penting hubungan erat NU dan Al Azhar. Grand Syaikh sebagai orang yang “kasyaf”
alias orang yang diberikan oleh Allah kemampuan memahami keprihatinan Umat
Islam, secara tegas mengkritik dan menasehati secara ilmiah dan lembut ketua
PBNU dalam acara yang bertajuk “Islam Nusantara menuju Islam Dunia” itu.
Berikut
beberapa point yang disampaikan oleh Grand Syaikh Al Azhar di depan warga NU di
Jakarta Pusat:
1. Islam dibawa
oleh bangsa pilihan yaitu Bangsa Arab, dan
Allah lebih mengetahui mengapa Nabi Muhammad dipilih dari bangsa Arab.
2. Umat Islam harus
bersatu, jangan berpecah-belah serta cerai-berai, adanya kelompk-kelompok dalam Islam adalah
disebabkan mereka lupa dengan firman Allah Swt,
وأطيعوا الله ورسوله ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا إن الله
مع الصابرين
3. Mazhab yang kita
anut adalah Mazhab Asy’ari, satu-satunya mazhab yang tidak pernah mengkafirkan
kelompok lain, sesuai sabda Nabi, selama
masih sholat dan menghadap kiblat yang sama orang tersbut adalah Muslim.
Meskipun dia melakukan dosa besar, sepanjag dia tidak menghukumi perbuatan
tersebut sebagai perbuatan yang boleh.
4. Adanya
perbedaan kelompok seharunya dicari titik temu, jika ada yang salah seharusnya
saling menasehati, bukan saling
mencaci dan menghujat.
5. Kita tidak boleh
mengeneralisir keburukan seseorang atau sebagian orang dari suatu golongan
sebagai keburukan semua orang dalam golongan itu.
6.
Adanya
pengelompokan Islam menjadi Nusantara, Arab, adalah menjauhkan dari ajaran Islam yang
sebenarnya, karena Islam justru ingin mengahapuskan fanatik kesukuan ini.
7.
Kita harus menjauh dari memecah belah
umat hanya karena
fanatik ormas atau kesukuan. Karena Barat sudah melupakan perbedaan mereka dan
bahkan mereka bersatu sehingga menjadi kuat.
8.
Tidak menganggap kelompok kita adalah paling Islam
sedangkan kelompok lain bukan Islam.
9.
Dalam mazhab lain selain Mazhab Asy’ari pasti memiliki unsur mengkafirkan kelompok lain.
10. Kita harus “Segera” mengubur perbedaan kita semua, dan
selalu mencoba mengenal kelompok lain dan mengajarkan anak anak kita hal ini.
11. Saya berharap NU
juga melakukan penyatuan Umat Islam di selurh dunia, berkomunikasilah dengan
ulama Saudi, Maroko, dll. Dan Al Azhar akan bersama NU dalam ha ini.
12. Allah akan mempertanggungjawabakan kepadamu (Kiyai Said) tetang
persatuan Umat, dan akupun
juga akan ditanyakan.
13. Israel dan Barat tidak pernah mau tidur sebelum Umat Islam
berpecah, sebelum umat
Islam berpisah dengan bangsa Arab.
14. Jangan
ada lagi Istilah Islam Nusantara, Islam ini dan itu. Saat ini Umat Islam sugguh perlu
persatuan dan harus melupakan
perbedaan, lebih dari
sekedar fanatik kesukuan dan kelompok.
Dan pada akhirnya, Kritikan dan
masukan Grand Syaikh tidak dibangun atas rasa benci sedikitpun, pun demikian
ketua PBNU smasekali tidak sentimen dengan nasihat yang diutarakan meski itu
sangat “memojokkan” statatement beliau sendiri, terlebih di depan warga NU
lebih jelasnya.
0 komentar