Politisasi Islam atau Islamisasi Politik?
Maret 12, 2019
Oleh: Ali Afifi Al-Azhari
Ada sebagian
yang berstatement bahwa politik adalah hal yang profan (kotor), politik hanyalah jalan untuk mencari
kekuasaan, dan tidak lain tujuannya adalah survival ( mempertahankan kekuasaan dengan
cara apapun –baik maupun buruk-). Dari paradigma ini sehingga tumbuhlah sedikit
sikap acuh- tak acuh terhadap sistem nagara yang mana tak akan lepas dari
politik. Ada juga sebagian lain yang menganggap politik adalah urgensi bahkan kebutuhan primer, satu- satunya cara
menyelesaikan problematika masyarakat – umat Islam khususnya – hanyalah
dengan politik. Yakni degan menghidupkan kembali politik khilafah Islamiah
(umat Islam se-dunia dipimpin oleh satu kholifah), atau kepemimpinan Muslimin
hanya milik Ahlul Bait, kelompok ini banyak berkembang di negara Mesir
dan Iran. Bahkan mereka menganggap sistem yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dan khulafa stelahnya adalah sistem
teokrasi (hukum negara mutlak dari tuhan), yang wajib bagi umat Islam kembali beralur
dalam sistem ini. Yang sangat disayangkan sekali, kedua cara pandang di atas banyak menular di
kalangan umat Islam; timur maupun barat. Terlalu menjauh dari politik, atau terlalu
berambisi dalam politik. Tentu dua cara pandang tersebut sangat jauh untuk
dikatakan benar 100 %, sebab politik tidak selamanya amoral dan harus dijauhi ,
namun tidak juga selamanya baik yang
hanya dengannya segala terselesaikan. Kini umat Islam harus mengambil langkah,
jika di antara kedua paradigma di atas terdapat jalan tengah, mengapa tidak?.
Penulis terobsesi dengan sebuah kitab
berjudul “Sirajul Muluk” yang ditulis oleh Syekh Abu Bakar at-
Turtusyi (W. 520 H.); seorang ulama Andalusia. Dalam muqaddimahnya
beliau mengatakan bahwa, dibalik historis umat Islam terdahulu hanya terdapat
dua hal yang paling mencolok; pertama “al-Ahkam” (hukum-hukum syariat), dan
kedua “as-Siasah” (politik). Hukum-hukum syariat yang dimaksud adalah
keyakinan agama serta rambu-rambu agama yang wajib dijalankan. Sedangkan maksud
“as-Siasah” adalah sarana merealisasikan undang-undang, melindunginya
serta menjaganya. Singkatnya, antara agama dan politik atau kekuasaan adalah
dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Sebagaimana juga dikatakan oleh tokoh besar
di zamannya; Ardasir. Beliau mengatakan kepada puteranya: “ Wahai
anakku, kekuasaan (politik) dan agama adalah dua bersaudara, tidaklah lengkap
jika kurang salah satunya. Agama adalah asas (pondasi) dan kekuasaan adalah
penjaga dan pelindungnya. Maka barangsiapa yang tidak memiliki pondasi, dia
akan runtuh, dan sesuatu yang tidak dilindungi akan lenyap...”.
Islam menganggap politik adalah ibadah, menyebarkan
kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Sebab tujuan ini adalah tujuan
yang mulia, maka cara yang digunakan haruslah cara yang baik dan mulia pula.
Islam juga memandang pemimpin bukanlah sosok penguasa, melainkan khodim
( pengabdi) terhadap masyarakat, atas dasar inilah Islam selalu bersikap
moderat dalam menanggapi sesuatu. Di sisi lain Nabi SAW memberi peringatan akan
beratnya tanggungjawab seorang pemimpin di sisi Allah SWT, dan di sisi lain
Islam mewanti-wanti masyarakat (khususnya Muslimin) supaya taat terhadap
pemimpin meski seorang budak hitam yang hilang ujung hidungnya. Selama pemimpin
tersebut tidak menyuruh kepada kemaksiatan dan kesyirikan, wajib hukumnya untuk
taat. Jika ini diaplikasikan dalam dinamika kehidupan beragama dan bernegara,
maka akan terjadi keseimbangan natural secara otomatis.
Seorang
cendikianwan muslim Mesir; Dr. Mohamed Imaroh juga sempat menegaskan dalam
bukunya “Fi Nidzami as-Siyasah al-slami”. Bahwa poitik dalam pandangan
Islam tidaklah masuk dalam pembahasan aqidah atau asas (pondasi) agama Islam,
tetapi hanya masuk dalam ranah furu’ ( cabang agama). Secara umum
menurut beliau, kreteria atau penilaian politik bukanlah berkisar antara
“kafir” dan “iman”. Melainkan perkara “benar”
dan “salah”, “kesejahteraan” dan “kerugian” atau “kerusakan”. Beilau juga
menuliskan, pemerintahan Islam menganut agama, ras, dan intelektualitas yang
pluralistis. Menurutnya, kemajemukan tersebut tidak serta merta bebas dan
liberal, namun sudah ada perundang-undangan yang mengatur. Perbedaan agama dan
ras pasti terjadi dalam suatu negara dan tidak dapat dihindari, sedangkan yang
tidak berbeda dan hanya satu, hanyalah Allah Swt.
Jika
ditelisik kembali, pendapat Dr. Mohamed Imaroh bahwa politik Islam tidak
berbicara antara iman dan kafir tetapi sejahtera dan tidaknya, adalah kurang
tepat jika maksud beliau memisahkan antara agama dan politik. Sebab dalam
politik Islam sangat membedakan antara Islam dan kafir –dalam beberapa segi– seperti
pembagian Rosulullah kepada kafir menjadi kafir Harby, mu’ahad,dll. Sedangkan dalam segi hak dan kewajiban sebagai
warna negara, Islam memandang Muslim dan kafir sama rata. Tetapi jika maksud
beliau adalah bahwa suatu pemerintahan
akan sejahtera tanpa memandang kafir atau Islam seperti juga dikemukakan juga
oleh Imam Ibnu Taimiyah, maka bisa dibenarkan. Sebab dalam hal ini tidak ada
hubungannya dengan hukum menjadikan seorang pimpinan dari kalangan orang kafir.
Memang benar
seperti yang dikemukakan Dr. Toha Hosain, bahwa Islam tidak merampas kebebasan
manusia, namun tidak juga membiarkan manusia liar tanpa arah. Hanya saja Islam
telah memberi kebebasan kepada manusia dengan meninggalkan rambu-rambu dan batasan-batasan
sehingga tidak liberalis dan tidak juga fundamentalis. Meski politik bukanlah
pondasi agama (aqidah), Islam tidak serta-merta not care (tidak peduli)
dengan politik. Justu bagi Islam, nama agama harus tertera dalam perpolitikan.
Maka di sinilah peran agamawan (Ulama) sebagai tiang sandingan bagi penguasa
(Umara). Islam tidak menuntut pemimpin yang hanya beragama Islam, tetapi yang
benar-benar teguh keislamannya. Sebab bukan hanya perundang-udangan negara yang
harus dijanani, tapi juga dogma agama melalui nasihat ulama.
Penulis
tidak merasa kaget dengan orang kafir yang menghujat agama kita (Islam) atau
serta merta menafsirkan al Quran tanpa ilmu, sebab hal itu sudah biasa terjadi
dan merupakan fitrah manusia terhadap agama yang berbeda dengannya. Namun,
penulis sangat kaget jika ada orang yang justru “ngotot mati-matian”
membela orang kafir tersebut saat mencaci agama kita. Tentu yang berhak
bertindak adalah umara, dan dialah pelindung agama. Dalam Islam pemimpin
tidak hanya wajib menjaga kesejahteraan masyarakat Muslim, pemimpin juga wajib
menjaga kesejahteraan orang kafir yang berada di bawah perlindungannya , pemimpin
juga harus menyejahtrakan hubungan keduanya, bahkan harus menyamaratakan hak
dan kewajiban mereka sebagai warga negara, selama orang kafir tersebut tidak
merugikan dan menyerang agama Islam. Allah SWT berfirman:
لا ينهاكم الله عن
الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم, إن
الله يحب المقسطين
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”
Dalam jejak historis Islam Dr. Adian Husaini
menuliskan, ketika Islam berkuasa di Andalusia dan Palestina, penganut agama
lain (Yahudi dan Nasani) tidak diusir. Bahkan umat Yahudi menjadikan negara
Islam sebagai tempat meminta perlindungan dari imperium kekuasaan Romawi. Islam
memberi mereka perlindungan, memberi hak, dan diperlakukan adil sebagaimana
Muslimin diperlakukan. Namun setelah Islam tidak lagi berkuasa di Andalusia,
umat Islam diusir oleh Katholik, masyarakat Palestina dibunuh oleh Yahudi,
kekayaan intelektualnya dirampas lalu dibakar, bangunan-bangunannya disita.
Mendengar kabar demikian dari Andalusia, Sultan Turki ingin membalas dan hendak
mengusir orang Katholik dari Turki, namun karena kedekatannya dengan ulama, ia
menaati nasehat ulama untuk tidak melakukan itu.
Islam adalah agama yang
mendeklarasikan keadilan dalam berpolitik, Islam juga menganjurkan untuk
berlaku baik dalam berpolitik. Politik Islam adalah musyawarah, bukan teokrasi.
Tujuan utama berpolitik adalah menjaga agama, sedangkan agama (Islam) adalah
asas dan pondasinya. Berpolitiklah dengan rel Islam, atau kalau tidak Islam
akan dipolitisasi. “Umara” harus bersanding dengan “Ulama”, keduanya adalah
satu kesatuan yang tak boleh terpisahkan. Indonesia bukan negara sekuler
liberal, bukan juga negara yang suka menjual agama. Jangan biarkan “para tikus”
beragama atas nama politik atau berpolitik dengan jagron agama, tetapi
jadikanlah berpolitik sebagai wujud pengkhidmatan kepada agama dan bangsa. Indonesia
adalah negara moderat yang Islamnya Rahmatan Lil ‘Alamin. Buktikan
kembali kepada dunia, bahwa Indonesia bukanlah “Negara Islam” dan “Negara
Demokrasi” yang lemah, yang tidak tertipu dengan tebak-tebakan anak kecil. Jika ditanya “Lebih baik pemimpin kafir
yang adil ataukah pemimpin Muslim yang dolim”. Jawablah demikian, “Kita (Umat Muslim
Indonesia) adalah mayoritas, dan kita akan mencari pemimpin yang Muslim yang
adil. Dua pilihan di atas bukanlah solusi, meliankan ibarat diberi pilihan;
jatuh ke jurang atau dimakan singa”. Wallahu A’lam bi as-Showab.
Cairo, 14 Agustus 2018
0 komentar