Fenomena "Ustadz Muda"

Juni 03, 2020


Fenomena "Ustadz Muda" 


Di Al-Azhar,  saya lebih suka mengaji kepada masyayikh yang sudah lanjut usia.  Selain karena ilmu beliau dan pengalamannya sudah banyak,  aura seorang ayah atau kakek sangat terasa pada diri beliau-beliau.  Selain itu,  sanad keilmuan yang beliau miliki adalah sanad 'Ali,  bukan sanad Nazil,  dan  murid-murid beliau pun juga sudah banyak yang menjadi ulama.  

Namun bukan berarti di Mesir tidak ada ulama yang masih muda, sangat banyak. Bahkan ilmu beliau juga diacungi jempol. Tapi kebiasaan saya,  jika ada seorang ulama muda yang sangat 'alim,  saya akan jelajahi siapa gurunya. Jika masih ada, saya akan langsung ke guru tersebut. Jika muridnya saya seperti itu, apalagi gurunya. Ulama muda biasanya lebih menggebu-gebu, lebih enerjik dan semangat jiwa muda. Meskipun pengalaman beliau tidak terlalu banyak. 

Di samping itu,  ada juga Ulama muda Mesir yang saaangat saya kagumi dan keilmuannya diluar kebiasaan.  Selain memiliki banyak karya, sanad beliau juga tinggi. Nah di sinilah saya akan lebih memilih beliau. Termasuk ulama muda yang sangat saya kagumi adalah Syekh Usamah Al-Azhari. 

Imam ar-Ramahurmuzi (W.  360 H.) termasuk yang lebih menyukai ulama lansia,  dan tidak menyukai ulama muda. Di dalam karyanya "al-Muhaddits al-Fashil". Dengan alasan Ilmu beliau-beliau sudah cukup matang dan luas wawasannya. Bahkan beliau mengatakan, seseorang tidak boleh mengarang kitab sebelum umur 50,  namun bagi beliau usia 40 itupun sudah paling muda. Karena di bawah itu dirasa terlalu terbaru-buru dalam menyampaikan ilmu. 

Pendapat ini kemudian dikomentari oleh Imam Qadhi 'Iyadh (W. 544 H.) dalam karyanya "al-Ilma') Bagi beliau, statement ar-Ramahurmuzi tidak berlandaskan argumentasi ilmiah, sebab banyak dari kalagan Salaf Solih yang sudah mengajar, bahkan mengarang kitab sejak usia masih muda. Di antar beliau adalah Umar bin Abdul Aziz, Said bin Jubair, Malik dan Syafii.

Perselisihan dua ulama di atas akhirnya diwasiti oleh Imam al-'Iraqi (W. 806 H.) dalam karyanya "at-Tayid wal Idah".  Beliau menengahi bahwa yang dimaksud oleh Imam ar-Ramahurmuzi adalah mereka yang terlalu terbaru-buru menyampaikan ilmu, terburu-buru berfatwa, terburu-buru mengarang buku, terburu-buru membantah pendapat orang lain sedangkan ilmunya masih kosong, alias belum matang. Sedangkan ulama-ulama yang disebutkan oleh Qadhi Iyadh adalah memnag benar adanya ulama yang sudah sangat alim, pintar dan cemerlang sejak usia sangat muda. 

Fenomena yang disampaikan Imam ar-Ramahurmuzi dan Qadhi Iyadh sama-sama kita temui di zaman ini,  namun sepertinya yang disampaikan ar-Ramahurmuzi lebih dominan,  akibat adanya media sosial, terlebih lagi saat lockdown akibat Covid 19, sangat banyak ustad dadakan yang live streaming. Miris rasanya hampir semua orang dengan mudah dan bebas berfatwa, mengomentari sebuah ilmu,  namun ia masih belum selesai belajar di disiplin ilmu tersebut. Termasuk yang sempat ramai di media seorang ustad mengatakan "Orang Indonesia itu bermazhab Syafiiyah, bukan Syafii". Ia tidak paham apa esensi dari apa itu bermazhab. Kemudian yang paling ramai lagi ada meme bahwa berwudhu dengan kotoran hewan hukumnya boleh.  Dengan berlandaskan teks Arab dari perkataan Ibn Mundzir :
(أجمع أهل العلم لا اختلاف بينهم،  سؤر ما يؤكل لحمه طاهر يجوز شربه والتطهر به). 
Diterjemahkan dengan:
(Para ulama sepakat, tidak ada beda pendapat, bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci, boleh diminum dan digunakan untuk bersesuci) 

Kita garisbawahi kalimat (kotoran hewan). 
Jika dicari di google translate mungkin terjemahannya adalah (Sisa), yang kemudian diterjemahkan dengan kotoran karena kotoran adalah sisa pembuangan. Namun yang benar adalah (bekas air minum hewan).  Bagaimana mungkin kotoran diminum dan digunakan untuk waduh?. 

Ada juga sebuah video yang menerjemahkan hadis 
(لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم). 

Menerjemahkan (حمر النعم)  dengan keledai merah, padahal tidak ada keledai berwarna merah. Dan terjemahan yang benar adalah (Unta merah),  yaitu unta yang sangat mahal harganya. 

Karena beberapa kesalahan yang dipertontonkan secara gratis,  apalagi di era media sosial. Banyak yang menghujat atau mencaci hingga mencibir orang yang berkaitan. Hal ini sangat tidak saya sukai karena hampir tidak ada niat ikhlas di dalamnya, bukan memberi hidayah dan menasihati,  justru mengghibah dan merendahkan seorang muslim. 

Jika itu sebuah kesalahan seharusnya kita saling menasihati,  pun orang yang berkaitan, jika itu salah seharusnya mengakui dan tidak lagi terlalu "pede" menobatkan diri sebagai ustad.  

Pada intinya mereka semua memiliki niat baik.  
Semoga, kita semua diberi ilmu.  Jika tak di usia muda, semoga di usia tua. Kalau kita tidak ada potensi menjadi ulama sampai mati, semoga anak cucu kita ada yang menjadi ulama. Amin.. 


Kairo, 3 Juni 2020

***


Oh ya,  buku ini adalah buku yang mengumpulkan biografi ulama yang usianya tidak lebih dari 40 tahun. Link download di bawah ini:

https://drive.google.com/file/d/1ZrRlvJwGILnP9McjmVblmEn3yAZUVUfj/view?usp=drivesdk

You Might Also Like

1 komentar

aLi_afifi_alazhari