Mari Mengikuti Nabi dengan Ilmu

Juni 06, 2020


Mari ikut Nabi dengan Ilmu

Setiap kali ada sebuah amal yang dianggap bid'ah, alasan  yang selalu diulang-ulang adalah :"Ini tidak pernah dilakukan Nabi".  Dalam hal Maulid atau Haul misalnya.

Cara berdalil yang seperti ini akan sangat fatal, sebab akan ada kaidah "Setiap yang tidak dilakukan Nabi hukumnya haram/bid'ah. Dan semua yang dilakukan Nabi hukumnya wajib/Sunnah". Faktanya kaidah ini sering dilontarkan, dan sekali lagi  ini sangat berbahaya.

***
Saat berbincang tentang perbedaan dengan kawan Salafi, saya selalu sampaikan, "Saya tidak sedang ingin berdebat,  anda bukan musuh. Saya hanya ingin memberi tahu hal yang mungkin tidak anda ketahui. Kalaupun tidak mau ikut, itu terserah anda".

Di samping itu, saat berinteraksi, sering sekali saya merasa iri, ada hal yang perlu diapresiasi, serasa ada keikhlasan besar di bola mata mereka. Semangat mereka membela agama juga begitu kencang. Meski terkadang itu semua tidak didasari ilmu.

Sedangkan orang-orang kita lebih sering mencaci mereka  "gak bisa baca kitab" "orang baru hijrah", "kadal Arab", "radikal" dll. Padahal mereka butuh bimbingan, butuh diajarkan, butuh ilmu dan arahan.
***

Tulisan ini tidak sedang ingin menggurui atau merasa lebih tahu, mungkin bahasa halusnya "sharing", boleh jadi mereka belum tahu. Semoga mereka membacanya.
--------
Pembahasan tentang perbuatan Nabi adalah pembahasan paling mendasar di dalam ilmu Ushul Fikih.  Biasanya akan ditulis dengan judul "Bab al-Af'al"  atau "Af'alun Nabi". 
Para ulama Ushul membagi perbuatan Nabi kepada 3 macam,  mengutip dari Imam al-Amidi dalam al-Ihkam:

1. Pertama:
Jibilliah Mahdah: Yaitu perbuatan Nabi yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai manusia, seperti makan, duduk, berdiri, berbusana, tidur, berjalan dll. Perbuatan ini menurut jumhur dihukumi mubah (boleh) untuk dilakukan,  tidak wajib. Namun Imam ad-Zarkasyi berpendapat, Sunnah mengikuti semua perbuatan Nabi meski hanya cara tidur, cara makan, cara berbusana. Dengan syarat saat melakukan itu ia berniat mengikuti Nabi  Muhammad saw. Bahkan ada riwayat, Ibn Umar setiap kali lewat di suatu tempat, memaksakan diri untuk buang air kecil di sana, meski tidak ingin buang air. Karena pernah dalam suatu perjalanan Nabi berhenti dan buang air kecil di tempat tersebut.

Namun ada juga perbuatan manusiawi yang digolongkan ke dalam syariat, jika ada dalil yang menyebutkan,  seperti makan dengan tangan kanan, memakai wewangian dll. Jadi tidak perlu mencibir orang yang berubah,  sorban atau berjenggot. 🙂

2. Kedua:
Khususiyah: Yaitu perbuatan Nabi yang hanya boleh dilakukan oleh beliau, bahkan (Haram) diikuti. Hal ini harus ditetapkan dengan dalil sorih. Contoh perbuatannya seperti puasa wishol, wajibnya solat duha,  tahajjud dan witir. Kebolehan menikah lebih dari 4 wanita dan seterusnya.

Jadi kaidah bahwa semua yang tidak dilakukan Nabi hukumnya haram terbantahkan, bahkan yang dilakukan Nabi pun terkadang dihukumi haram untuk dilakukan.

3. Ketiga:
Perbuatan yang berkonsekuensi hukum. Perbuatan Nabi model ini adalah yang selain dua model di atas. Inilah yang dinamakan Syariat. Kemudian ulama mengklasifikasikan dengan:

1. Jika perbuatan Nabi ini datang sebagai penjelasan untuk al-Quran, atau spesifikasi hukum yang umum,  maka hukumnya sama dengan ayat yang dijelaskan.
Misalnya: Dalam al-Quran Allah memerintahkan untuk solat (أقيموا الصلاة) (dirikanlah solat)
Tapi al-Quran tidak menjelaskan secara detail tentang waktu dan cara solat. Lalu Nabi bersabda (صلوا كما رأيتموني أصلي) (Solatlah sebagaimana aku solat).
Jadi solat seperti cara Nabi hukumnya wajib sebagaimana perintah wajibnya solat. Demikian seterusnya dalam konsekuensi hukum wajib, sunnah dan mubah tergantung indikasi dalil.

2. Jika perbuatan Nabi tidak ada maksud menjelaskan atau menafsirkan hukum di al-Quran. Maka dibagi dua:
A.  Konsekuensi hukumnya diketahui,  misalnya wajib, dianjurkan atau mubah,  di sini umat Nabi dihukumi sebagaimana Nabi melakukan. Seperti mencium Hajar Aswad. 
B. Jika konsekuensi hukumnya tidak diketahui, dibagi lagi. Jika sifatnya adalah pendekatan diri kepada Allah (qurbah) maka dihukumi Sunnah. Contohnya solat sunnah yang tidak dilakukan Nabi secara terus-menerus. Jika tidak terlihat perbuatan pendekatan diri, seperti jual beli, cocok tanam, maka dihukumi mubah.

Maka kesimpulannya, kita semua mencintai Nabi, ingin mengikuti Nabi, mencontoh Nabi, tapi itu semua perlu ilmu. Dan ilmu itu lebih detail dari apa yang saya tulis di atas. Jadi mari kita menghormati perbedaan dan terus belajar. Sayyidina Ali berkata:
(الناس أعداء ما جهلوا)
(Seseorang adalah musuh kebodohannya)

Kairo, 7 juni 2020







You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari