Hagia Sofia Kembali Menjadi Masjid

Juli 12, 2020

Ini Bukan Momen Perpecahan  

Ada rasa sedih, saat melihat sebagian umat Islam berpecah,  berdebat, mencaci, menuduh, memvonis, dengan dirubahnya status Hagia Sofia dari museum menjadi masjid, yang sempat ramai beberapa hari lalu. Setelah diamati, ternyata momen bahagia ini, ditanggapi salah,  yaitu saat melihatnya dg kacamata "sepak bola".

Pembacaan peta pemikiran yang saya baca adalah Mesir dan negara Arab secara umum. Mungkin saja ada kecocokan dg Indonesia. Semoga pembacaan ini objektif, tanpa fanatik dg kelompok tertentu. Karena saya bukan juru bicara kelompok manapun. 
***

Apa yang dimaksud kacamata sepak bola? 
Baik.  Sebelumnya Ijinkan saya menyebut 'merk' agar lebih jelas.

Pertama sebagian kalangan Sal*fi.  Saat Hagia Sofia dirubah menjadi masjid, justru sisi yang mereka lihat adalah: Di dalam Hagia Sofia ini terdapat 5 Makam Sultan Utsmani. Mereka menghujat orang yang sholat di dalamnya, bahwa solatnya tidak sah,  syirik, menyembah kuburan,  hukumnya batal.  Padahal solat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan menurut Ahlussunnah, tidak syirik, dan solatnya sah. Pembahasan ini panjang, bisa dibaca di kitab Fathul Bari bab Sholat.

Kedua, ada kalangan yang tidak membaca sejarah. Sebagian mereka menulis, mengutip pendapat Syafiiyah, Imam Nawawi, bahwa sholat di tempat 'ghasab' (rampasan) tidak sah. Di masa Konstantinopel,  Hagia Sofia adalah gereja, dan --menurutnya--  Muhammad al-Fatih merampas Gereja itu dari orang Nasrani dan merubahnya menjadi Mesjid secara paksa. Padahal Muhammad al-Fatih membeli gereja ini dengan uang pribadinya, kemudian mewakafkan untuk umat Islam. Gereja berbeda dg masjid, Masjid tidak diperjualbelikan karena ia adalah wakaf. Sedangkan gereja, sah dan boleh diperjualbelikan,  karena ia berbentuk kepemilikan. Di beberapa tempat,  banyak gereja yang tidak dihuni lagi karena populasi umat Kristiani punah, kemudian dijual dan dirubah menjadi masjid.

Ketiga,  Kalangan sekuler. Menurut mereka, merubah gereja menjadi Mesjid adalah tindakan intoleransi alias melanggar HAM. Merubah gereja menyebabkan hubungan Muslim dan Non-muslim tidak sehat. Padahal, jauh sebelum Muhammad al-Fatih, Masjid-masjid di Spanyol yang dulunya menjadi markaz Dinasti Umayyah II diubah menjadi Gereja, pasca diusirnya kaum Muslimin secara paksa diri bumi Cordoba. Tidak ada yang mengatakan itu tindakan intoleransi.  Tidak ada juga yang menghujat Mustafa Kamal,  si Sekuler Turki yang sebelumnya melarang adzan berbahasa Arab.  Bagaimana tentang tindakannya merubah masjid menjadi museum yaitu Hagia Sofia?? Tidak ada yang mempermasalahkan. 
Dalam kasus Hagia Sofia, apa salahnya merubahnya menjadi Mesjid jika itu adalah hak milik Muhammad Fatih?

Keempat, Kalangan gerakan Ihkw*n Muslimin (P*S). Saya rasa pembahasan setelah ini kental dengan muatan politik. Antara Ihkwan dan lawan politiknya, kacamata yang mereka lihat adalah seorang tokoh, (peminpin Turki saat ini) atau partai itu sendiri.  Yang ia angkat-angkat ke publik adalah sosok presiden itu, dan kita tahu orang Ihkwan sangat menyukai presiden Turki saat ini. Kemudian dengan itu menyerang orang yang tidak setuju dengan IM, menyiyir oposisi "Nih, siapa yang gak suka Erd*gan biarlah mengnggong-gong" . Menjunjung presiden paling Islam, semua putusannya pro Islam dll.

Kelima,  mereka adalah oposisi partai dan presiden di atas. Kacamata yang mereka lihat, adalah kebencian dengan partai dan tokohnya. Kemudian apa saja yang dilakukan lawan politiknya salah, tidak benar, menuduh dengan berbagai hal. Intinya nomor 4 dan 5 murni perdebatan politis praktis. Kesalahan kacamata di sini mirip dengan penistaan al-Quran yang dilakukan oleh calon gub. Jakarta di tahun 2017. Saat umat Islam berkumpul di monas membela al-Quran malah salahsatu ketua ormas Islam mengatakan,  "Sholat Jumat mereka tidak sah".  Orang-orang berada di jurusan,  yang satu ini ada di jurusan lain. Samasekali bukan tema besar yang sedang diperdebatkan. Tidak suka saya terlalu panjang di sini.

Keenam,  dan ini yang terakhir. Mereka adalah orang-orang yang ikhlas, tidak berkepentingan apapun, mereka yang melihat kejadian dengan kacamata benar. Tidak ada ambisi untuk mencari onar, ingin persatuan umat Islam. Tidak ada tujuan politik, atau mencari ketenaran, keterkenalan. Mereka hanya bahagia  jika Islam naik. Sedih jika Islam terpuruk.

Semua kacamata selain yang terakhir inilah yang penulis sebut sebagai 'kacamata sepak bola'. Kacamata yang salah sasaran, salah menanggapi kebahagiaan. Namun penulis tidak 'gebyah uyah'  alias pukul rata. Di setiap kelompok,  pasti masih ada yang objektif.

Hagia Sofia,  semoga menjadi penyatu umat, bukan pemecah. Menjadi tanda kejayaan Islam, bukan keterpurukan. Intinya, apa saja agar Islam ini jaya, agar umat Islam bersatu tidak saling menyakiti satu sama lain. Apa yang membuat Umat Islam senang, saya juga ikut senang. Itu saja.

Ali Afifi Al-Azhari 
Mantiqah al-Bathniah,  Kairo. 
12 Juli 2020 


You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari