Siapa Kita Dibanding Sahabat Nabi Saw?

Juli 09, 2020


Siapa kita dibanding Para Sahabat Nabi Saw? 

Beberapa waktu lalu,  seorang tokoh kontroversial diusir dari bumi Aceh, ditolak oleh warga Sunni. Kemudian tokoh tadi dengan bangga mengatakan,  “Dulu Nabi Muhammad juga diusir oleh kerabat dan bangsanya di Makkah”.  

Yang terbaru,  seorang pemuda dengan pengikut anak muda yang sangat banyak,  dikritik karena tidak memiliki sanad keilmuan yang mapan,  juga kepahaman ilmu agama yang matang.  Kemudian ada pembelaan,  bahwa “Dulu sahabat Nabi tidak pernah “mondok di pesantren”. Tak perlu lama,  mereka lansung berdakwah menyebarkan Islam”. 

Baiklah,  menyamakan pengusiran tokoh yang pertama dengan pengusiran yang dilakukan Kafir Quraish terhadap Nabi, rasanya terlalu radikal. Karena analogi itu tidak seimbang. Yang mengusir Nabi dulu adalah ‘orang Kafir Quraish’, dan yang diusir adalah Kekasih Allah,  Makhluk paling Mulia, Nabi Muhammad saw. Sedangkan, tokoh publik  tadi adalah seorang yang kontroversial,  dan yang mengusirnya adalah warga Sunni Aceh. Jelas tidak Apple to apple. Rasanya tidak penting terlalu panjang lebar,  meski analogi itu menjebak banyak orang awam. 

Untuk kasus kedua,  memang benar adanya, Sahabat Nabi langsung ‘berdakwah’ dan tidak perlu mondok. Itu sebab Allah telah memilih mereka sebagai ‘Khaira Ummah’ (umat yang paling mulia). Mereka juga menyaksikan Wahyu diturunkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Dan  yang mengajar mereka langsung adalah Rasulullah saw. Bahasa Arab mereka, adalah ‘saliqoh’ (lahiriyah)   tanpa belajar ilmu Nahwu,  Sarraf,  Balaghah,  Istiqaq, Ilmu Wadho, dll.  Mereka tidak perlu belajar Ushul Fikih, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis Ilmu Mantiq, ilmu Kalam,  karena semua ilmu itu melekat dalam diri mereka.  Jika di antara Sahabat ada yang salah, Nabi lansung yang menegur, atau sesama Sahabat saling mengingatkan.

 Sahabat Anas bin Maliki pernah berkata “Tidak semua kita (Para Sahabat Nabi) mendengar hadis lansung dari lisan Rasulullah, kita juga mengambil ilmu melalui sesama kita, karena tidak ada di antara kita yang berbohong”. 
Inilah sebab Para Ulama Hadis mengatakan,  “Semua sahabat adalah ‘Udul’ (Adil)”.  Artinya beliau-beliau tidak pernah berbohong, atau menyengaja berbohong atas nama Rasulullah. Tentang tema ini akan saya tulis di  kemudian hari untuk membantah Syiah. 
***

Masih pantaskah, analogi yang disampaikan, bahwa tidak perlu belajar terlalu lama untuk berdakwah? Karena Sahabat Nabi tidak pernah belajar di Pesantren? 

Baik, kita lanjutkan. 
Saat mengaji Ihya Ulumudin di Al Azhar,  Syekh Muhammad Muhanna menyebutkan sebuah riwayat.  Suatu hari para sahabat berkumpul di Masjid, ada salahseorang bertanya kepada seorang Sahabat Nabi tentang suatu hukum. Sahabat tersebut, melempar pertanyaan tadi ke sahabat di sampingnya. Sahabat ini melempar kepada sahabat di samping, dilempar lagi ke Sahabat lain,  demikian seterusnya, hingga pertanyaan itu kembali kepada Sahabat yang pertama. Seorang yang bertanya tadi bingung, serta kagum. Begitu tawadhu para sahabat, begitu hati-hati beliau-beliau menyampaikan ilmu. 
Masihkah menyamakan diri dengan Sahabat Nabi? 

Diriwayatkan dari Abi Said, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, (Janganlah mencaci para Sahabatku.  Demi Allah,  jika kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud,  masih tidak sebanding dengan satu Mud (0,6 kg) dari sedekah Sahabatku). 

Para Ulama menjelaskan, dengan  sekadar para Sahabat beriman dengan Nabi, kemudian bertemu  dan melihat Nabi dengan mata kepala mereka, sudah menjadikan mereka semua lebih mulia dari Wali Allah...

Sebagai penutup, mungkin mereka belum mengetahui. Para ulama menghitung jumlah seluruh Sahabat Nabi.  Jumlahnya ada 114.000 orang.  Yang sampai kepada kita riwayatnya ada 1700 Sahabat saja. Yang diketahui namanya,  secara keseluruhan yang laki-laki dan perempuan hanya ada 8000 Sahabat saja. Dan dari 8000 Sahabat itu,  tidak semuanya menjadi Ahli Tafsir, atau Mufti yang kesana kemari berfatwa,  bahkan hanya sedikit yang berijtihad. Jika Sahabat saja tidak semuanya Ulama, bagaimana dengan anda? Kita? . 

Tentang fenomena maraknya Muallaf, Ustad muda, Ustad bersanad guru Internet, Ustad Hijrah.  Salah seorang kawan saya nyeletuk: “Bertahun-tahun kita di pesantren, berbagai ilmu kita pelajari. Sekarang kita belajar di Al-Azhar Mesir, belajar agama dari sumbernya. Tapi Alhamdulillah , kita diberikan keberhati-hatian menyampaikan agama Allah Saw, tidak seranpangan menokohkan atau meng’ustadzkan’ diri. Semoga Barokah..”.

Terakhir. 
Ibn Sirin pernah berkata: ‘Sesungguhnya Ilmu ini adalah agama, maka telitilah dalam mengambil ilmu (memilih guru)...”.  

Ali Afifi Al-Azhari 
Syari' El-Dwaidari. Kairo, 9 Juli 2020

You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari