Kaum Sufi dalam Nahi-Mungkar

Juli 01, 2020

Kaum Sufi dalam ‘Nahi-Mungkar’

Bebrapa hari lalu salahseorang kawan saya memperlihatkan postingannya di media sosial, katanya, postingan yang dia share mendapat respon negatif dari orang-orang. Padahal yang dia bagikan adalah postingan seorang ‘cendikia moderat’ yang membantah seorang tokoh diluar kelompoknya. 

Akhirnya saya lihat postingan itu, kalimat pertama yang lewat di mata saya, “Orang Bodoh dan terlakanat ini... “.  Dan terpajang foto seorang Syekh yang  dicoreti silang berwarna merah. Sengaja tak saya lanjutkan, pasti isinya banyak cacian. Meski sedang mengkritik pemikiran, namun kata-kata yang digunakan tidak indah samasekali. Mungkin ini sebab tulisan ini ditanggapi negatif oleh orang-orang. Malah kawan saya bilang, “wajar, yang komentar pun kelompok itu juga”.  

Saya bercerita kepadanya,  dulu saya suka mengkritik tokoh dengan cara seperti itu, tidak jarang menyematkan kata-kata “bodoh”,  “kurang piknik”, dsb. Namun saya tidak menemukan hasil, sebab orang yang saya kritik, atau minimal pengikutnya, akan tidak terima jika dikatakan demikian, meski isi tulisan itu kritik ilmiah dengan sumber yang terpecaya. 

Imam Sya’rani dalam karyanya ‘Lawaqihul-Anwar al-Qudsiyah’, bercerita, melihat  seorang ulama fikih  datang ke tempat pemandian,  untuk melakukan nahi-mungkar. Di sana ada seorang lelaki yang membuka pahanya. Syekh tersebut langsung mendorong lelaki tadi dengan kaki, sambil mengatakan “Haram!!” katanya. 

Lalu apa yang terjadi?,  bukannya menutup aurat,  lelaki tapi justru membuka semua auratnya dan melemparkan celananya ke muka Syekh, sambil berkata “Aku menantangmu!! “.  Dengan nada geram. Kemudian Imam Sya’rani tadi mengomentari dalam bukunya, “seandainya ulama fikih tadi mengetahui strategi dakwah, semisal mengatakan “Tuan, anda orang terhormat si dini, saya khawatir ada orang melihat, lalu menegur anda.. “.  Mungkin ceritanya akan berbeda.  

Imam Abdul Qadir pernah berpesan, “Orang yang melakukan nahi-mungkar harus kuat dan kuat hatinya, tapi penampilannya lembut”. 

Kembali ke pengalaman  pribadi, dulu saya pernah memiliki teman yang berbeda pandangan, bahkan kelompok, saya suka sekali berteman dengan teman yang berbeda pandangan. Kini, dia sudah taubat. Teman saya tadi tidak suka melihat orang yang berziarah kubur, tidak suka melihat orang sholawatan, menurutnya, itu semua syirik. Sayapun mendengar argumentasinya, saya hanya menganggguk, setelah puas, barulah saya berkomentar. Ia menerima dengan lapang dada, padahal sebelumnya ia mengira saya termasuk kelompoknya,  karena pernah suatu hari berjalan dg kawan tadi, kemudian ada yang mengajak sholawatan saya menolak. Waktu itu saya hanya ingin menghormati kawan yang berjalan dengan saya. Mendengar penjelasan saya tentang ziarah, tawassul, iatighatsah, kawan tadi menerima. Ia pun baru tahu, bebrapa hal. 

Inilah yang perlu diperhatikan, kadang seseorang lahir dari lingkungan, mulai dari orangtua, sekolah, hingga buku bacaan yang ia baca, menjurus pada kelompok atau pemikiran tertentu. Sehingga ia sudah terdoktren, apa-apa yang diluar kelompoknya pasti sesat, neraka. Saya yakin, orang yang seperti ini akan Allah ampuni, karena hanya sampai disinilah ilmu dan pengalaman yang ia sampaikan. Maka tugas saya adalah memberitahu beberapa hal yang mungkin tidak ia ketahui, demikian sebaliknya. Saya kagum dengan kelompoknya, yang dulunya saya mengira, mereka adalah teroris, hanya ingin membunuh, mengkafirkan,  dll. Padahal, itu hanya oknum, atau sebagian kecil,  atau di ranah ilmiah. Sebagian atau mungkin kebanyakan orang, mereka melakukan hal sebab tidak tahu, bukan karena kesombongan. Maka tugas yang tahu, adalah mengajarkan, memahamkan mereka. Bukan memercikkan api antar dua kelompok. 

Sayapun bertanya kepada kawan yang menshare kritikan terhadap seorang tokoh dg cacian itu,  "Coba pikirkan, apa guna postingan itu?..  
Yang berkaitan akan taubat? Tentu tidak
Pengikutnya tidak akan lagi mengikutinya?  Justru akan membela 
Orang akan membaca?  Justru akan bertepuk tangan seakan agama ini pertandingan sepak bola.. 

Di zaman kita, banyak tokoh yang merasa berfiliasi pada ormas atau kelompok moderat katanya, atau ‘aswaja’, tapi mental bahasa tulisannya menggunakan kata tidak sopan kepada lawan kelompoknya, lawan politiknya. Merasa kelompok rahmatan lil alamin, tapi saat berhadapan dengan  yang berbeda tidak ada bedanya dengan yang radikal sekalipun.  Karena sedari awal, yang menjadi tujuannya adalah mengkritik tokoh, menjatuhkannya, membuka aibnya,  barulah diselingi mengkritik secara ilmiah. Sudah pasti, para pembaca tulisannya (atau videonya)  seperti pendukung kelompok bola. Bertepuk tangan jika menang dan sebaiknya. Demikian juga kelompok yang ia kritik, sudah pasti tidak akan menerima tokohnya dicaci, dan yang terjadi adalah sekat permusuhan antar umat Nabi Muhammad ini semakin besar, semakin terpecah. 

Kadang umat Islam ini lucu, jika dihadapkan dngan saudara muslim yang berbeda politik atau ormas, ia keras sekali, lebih keras daripada orang kafir. Bahkan, dengan orang kafir yang sering merugikan umat islam ia duduk mesra.  Saya pernah mendengar  Habib Ali al-Jufri dalam sebuah pengajian, mengatakan,  “Cintailah Orang Kafir, bencilah kekafiran. Cintailah orang fasik, bencilah kefasikan. Cintailah orang jahat, bencilah kejahatan. Karena bisa jadi, Allah memberi hidayah kepada mereka sebelum mati, kemudian memasukkan  ke surga lebih tinggi darimu”.  

Imam Ghazali dalam magnum opusnya Ihya Ulumudin menegaskan, bahwa syarat amar-makruf nahi-mungkar tidak boleh menghasilkan kemungkaran yang lebih besar. Sudah saatnya, kita bersatu. Orang kafir di sana sudah terlalu sering bertepuk tangan melihat umat Islam saling pukul, bukan merangkul, saling melaknat, bukan menjadi juru penyelamat. Mungkin, butuh ‘Ah*k’ dan ‘musuh bersama’ supaya mereka bersatu. 

Kairo, 22 Juni 2020

You Might Also Like

1 komentar

aLi_afifi_alazhari