Salaf atau Salafi?

Maret 07, 2021

 

Salaf atau Salafi?

Gambar di atas adalah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Ghuriyah, terletak di komplek al-Jamaliyah, sekitar 100 meter dari Masjid Al-Azhar. Masjid ini dibangun oleh Sultan terakhir Dinasti Mamalik yang bernama Sultan Abu Nasr Qonsouh al-Ghuryi. Selain masjid, tepat dibawah masjid ada pasar kain, yang dulunya khusus menjual kain, baju dan permadarni untuk kalangan sultan dan orang kaya. Selain itu, tepat di samping masjid, ada madrasah (universitas) el-Ghuriyah, konon mazhab yang empat diajarkan secara intens di sini.

Sebenarnya inti tulisan ini bukan  di sejarah bangunan, akan tetapi saya hanya ingin bercerita kalau sore ini saya solat Asar berjamaah di sana. Seperti biasa, pandemi corona belum mereda, sehingga jamaah diwajibkan memakai masker dan shaf berjarak setengah meter.

 
Seusai wirid, ada seorang duduk di baris belakang seakan sudah menunggu saya semenjak selesai solat. Usianya sekitar 50 tahunan, ia memakai celana jeans. Tak lama ia memanggil, "Walad.." (Nak..),  sayapun mendekat, ia tersenyum, dan menyuruh saya duduk.
Dengan bahasa ammiyah Mesir ia bilang yang terjemahannya begini:
"Kamu tadi sujudnya tidak sah",  mendengarnya sayapun kaget. Tapi saya biarkan dia melanjutkan.
"Kamu tahu, ada  tujuh anggota sujud yang harus ditempelkan ke tanah?" dia bertanya.
Saya mengangguk, "Na'am" (iya).
Pria itu bertanya lagi, "Anggota apa saja?“.  Saya beri isyarat pada tujuh anggota itu. (jari-jari dua kaki, dua lutut, dua telapak, dan dahi). Dia menambahkan: "Kurang satu, hidung", sambil menunjuk hidung mancung saya yang tertutup oleh masker.
"Hidungmu tertutup, jadi sujudnya tidak sah". Sontak saya bilang:  "Tidak, yang wajib adalah dahi,  hidung menurut Imam Nawawi lebih baik ikut ditempelkan, kalaupun tidak, tetap sujud saya sah".


 
Orang tadi mulai sedikit angkat suara, agak nyaring, "Kamu dengarkan perkataan Imam al-Albani, beliau bilang hidung itu satu dengan dahi yang wajib menempel". Mendengar nama Syekh al-Albani saya sedikit angkat wajah.
" Ya Sidi (Tuan..) ini permasalahan khilaf (berbeda pendapat), jadi selama demikian boleh bagi saya ikut pendapat yang tidak mewajibkan, mazhab saya Syafii, Tuan".
Pria itu tidak mau kalah, saya tahu dia membaca buku Syekh al-Albani yang berjudul "Sifat Solatin Nabi".
Lalu dia melanjutkan: "Tapi Imam al-Albani ini ulama Salaf, beliau tau hadis, beliau yang mengumpulkan hadis Bukhari, Muslim, dsb. Kemudian disohihkan-didhoifkan supaya lebih mudah buat kita". 
"Pak, saya ikut Imam Syafii, beliau Ulama Salaf (W. 204 H.) sedangkan al-Albani, dia baru saja wafat beberapa tahun lalu. Saya ingin ikut ulama Salaf, bukan yang baru wafat". Tanggapan saya tegas.
"Ya tapi al-Albani ini mengambil dari hadis Nabi,  bukan pendapatnya sendiri ! ". Suaranya naik.
Dalam hati saya, "padahal di lafadz hadis tentang sujud, yang saya tahu jelas tidak ada hidung".
Orang-orang disekitar melihat kami berdua. 

"Bagini pak, Saya harus ikut Salaf atau al-Albani?". Tanya saya.
"Salaf". Jawabnya singkat.
"Nah, Imam Syafii Salaf sekali, dan al-Albani, baru saja wafat, Jelas??!“.  Pria itu diam sejenak, "Imam al-Albani pakar hadis, pendapat beliau dari hadis!".
Saya tanggap dengan pertanyaan: "Apakah Imam Syafii tidak pakai hadis juga?".
"Pakai".  Jawaban singkatnya.
"Nah, kalau begitu, kenapa saya harus ikut al-Albani selama saya punya panutan dari Salaf, juga tau hadis, dan diikuti banyak orang di dunia??". 
Senyumnya datar, wajahnya memucat, orang-orang sekitar terdiam. Terakhir pria itu bertanya : "Inta Syafi'i?" (Kamu mazhab Syafii?)
Saya jawab: "Iya". sambil tersenyum sedikit kesal.
Saya mohon pamit karena hari mulai gelap, sebelum bersalaman, saya bilang ke lelaki tadi,  "Ya Sidi... Ana Rajul Muta'allim"...
***
Jadi jelas, kita harus ikut Ulama Salaf, bukan Salafi. 🙂

Nb: Saya samasekali tidak ada maksud merendahkan Ulama, Syekh al-Albani adalah seorang Syekh, boleh saja benar, boleh jadi salah. Menghormati beliau hukumnya wajib, mencaci beliau hukumnya Fasiq. Mengapa?  Karena beliau seorang Muslim. 
Beliau sudah berusaha  berijtihad, setuju atau tidak, itu dikajian ilmiah. Menghormati, itu wajib. Cerita ini saya tulis, agar meminimalisir sikap fanatisme, atau klaim siapa yang paling Salaf. Karena klaim seperti itu samasekali tidak disukai Rasulullah. Beliau sedih melihat umatnya bertikai. 

Terakhir, Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan  perkataan guru saya Syekh Ali Jumah seusai mengkritiki pendapapat Syekh Al-Azhari di Majlis:

"Syekh al-Albani mencintai Allah Dan RasulNya, siapa tahu beliau lebih tinggi derajatnya di sisi Allah."

Sekian.

Ali Afifi Al-Azhari
Syar'i el-Ghuriyah, Hay el-Jamaliyah, Kairo. 23 Rajab 1442 H.


You Might Also Like

0 komentar

aLi_afifi_alazhari