Yang menjadi titik perbedaan antara ulama, khususnya ulama turats dan kontemporer, adalah terkait dilarang atau dibolehkannya mengucapkan selamat Natal. Termasuk ulama Al-Azhar sendiri, boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal (bagi seorang Muslim), mereka masih berbeda pendapat. Jadi terkait ini, adanya perbedaan masih bisa diterima. Dan pembahasan ini sudah pernah saya tulis sebelumnya.
Tapi uniknya, sekarang malah ada sekelompok Muslim yang merayakan Haul seseorang sambil merayakan natal, ada juga ikut beratribut natal, atau ikut masuk ke gereja sambil 'sholawatan' merayakan Natal. Kemudian memfoto semua moment itu, dan menuliskan "BHINEKA TUNGGAL IKA" atau "MEREKATKAN UKHWAH WATHANIAH" atau kata-kata yang semakna.
Seharusnya, jika benar-benar mengakui perbedaan di negeri ini, tidak ada istilah Islam Arab, Islam Nusantara. Jika ingin menjaga kerekatan saudara sebangsa, seharusnya tidak ada lagi tuduhan kepada orang lain "Radikal" "Anti NKRI" tanpa bukti. Apalagi membunuh anak bangsa...
Jadi sekarang kita sampaikan perkataan para ulama terkait hukum ikut merayakan hari raya non-muslim bagi seorang Muslim:
Dalam konteks ini juga, al-Imam Fakhruddin al-Razi al-Asy'ari ketika menafsirkan ayat tentang sifat Hamba Allah yang sebenarnya:
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“ (Hamba Allah yang sebenarnya) juga, adalah orang-orang yang tidak menyaksikan sebuah kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS al-Furqan : 72).
Imam Fakhruddin memberikan penjelasan sebagai berikut:
الزُّورُ يَحْتَمِلُ إِقَامَةَ حُضُورَ كُلِّ مَوْضِعٍ يَجْرِي فِيهِ مَا لاَ يَنْبَغِي وَيَدْخُلُ فِيهِ أَعْيَادُ الْمُشْرِكِينَ وَمَجَامِعُ الْفُسَّاقِ، لأَنَّ مَنْ خَالَطَ أَهْلَ الشَّرِّ وَنَظَرَ إِلَى أَفْعَالِهِمْ وَحَضَرَ مَجَامِعَهُمْ فَقَدْ شَارَكَهُمْ فِي تِلْكَ الْمَعْصِيَةِ، لأَنَّ الْحُضُورَ وَالنَّظَرَ دَلِيلُ الرِّضَا بِهِ، بَلْ هُوَ سَبَبٌ لِوُجُودِهِ وَالزِّيَادَةِ فِيهِ، لأَنَّ الَّذِي حَمَلَهُمْ عَلَى فِعْلِهِ اسْتِحْسَانُ النَّظَّارَةِ وَرَغْبَتُهُمْ فِي النَّظَرِ إِلَيْهِ.
“Kata 'zur' dalam ayat tersebut berkemungkinan maknanya menghadiri setiap tempat yang terjadi sesuatu yang tidak patut, dan masuk pula di dalamnya hari raya orang-orang musyrik dan tempat perkumpulan orang-orang fasiq. Karena orang yang bergabung dengan orang-orang yang buruk, melihat perbuatan mereka, dan menghadiri perkumpulan mereka berarti benar-benar ikut andil dengan mereka dalam kemaksiatan tersebut. Karena menghadiri dan menyaksikan termasuk bukti kerelaan terhadapnya. Bahkan sekedar menghadiri dan memandang merupakan sebab adanya rasa ridha dan bertambahnya ridha. Karena suatu hal yang mendorong mereka untuk melakukannya adalah anggapan baik menonton dan keinginan mereka menyaksikannya.” (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 24 hlm 98-99).
Dalam kitabnya, Ibn Qayyim mengutip pernyataan seorang ulama madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu al-Qasim Hibatullah bin al-Hasan bin Manshur al-Thabari al-Syafi’i yang berkata:
وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَحْضُرُوا أَعْيَادَهُمْ؛ لأَنَّهُمْ عَلَى مُنْكَرٍ وَزُورٍ، وَإِذَا خَالَطَ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ أَهْلَ الْمُنْكَرِ بِغَيْرِ اْلإِنْكَارِ عَلَيْهِمْ كَانُوا كَالرَّاضِينَ بِهِ الْمُؤْثِرِينَ لَهُ، فَنَخْشَى مِنْ نُزُولِ سُخْطِ اللهِ عَلَى جَمَاعَتِهِمْ فَيَعُمُّ الْجَمِيعَ، نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ سُخْطِهِ.
Tapi ikut merayakan, ikut beratribut dalam perayaan non-muslim, hal itu bukan lagi ranah perbedaan ulama. Jika 'anda ngaji' plus 'tuntas' anda tidak akan terjerumus kepada kebodohan ini.
Terkait toleransi di negeri ini, umat Islam tidak perlu diajari toleransi. Terlebih Ahlussunnah Wal Jamaah yang berakidah Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi, lalu berfikih dengan 4 Mazhab mu'tabar. Karena Akidah Sunni sudah mengajarkan kita toleransi secara ilmiah dan praktik.
Terakhir, foto di bawah ini adalah bukti bisu bagaimana toleransi itu sudah ada dan diajarkan oleh ulama Ahlussunnah, khususnya ulama Al Azhar. Foto ini diambil secara tidak sengaja, dan pastinya tidak ada 'acting' seperti mereka yang suka upload 'bukti toleransi' dan teriak 'Kita Pancasila'
Ini perlu ditegaskan, karena sekali lagi, kata penceramah tadi "Alumni Timur Tengah tidak diajarkan cinta negara". Hasbunallah wani'mal wakil. Allah yang lebih tahu kecintaan kita pada Indonesia... Hah, sudahlah. Cinta itu bukti, bukan kata-kata.
Semoga tulisan ini bermanfaat, Wallahua’lam bissawab