Hilangnya Otoritas
Ikut berkomentar dalam perdebatan ilmiah terutama dalam agama itu mengasyikkan, apalagi dalam permasalahan debatable yang sifatnya viral dan vital di masyarakat. Ditambah lagi adanya media sosial yang membuat kita lupa tempat, lupa siapa kita, juga lupa sekitar kita. Setiap ada sebuah permasalahan misalnya, sontak bermunculan "para ahli" dalam tanda kutip, di beranda media sosial.
Ini benar-benar terjadi, seorang yang samasekali tidak belajar ilmu dari awal, hanya mencukupkan dengan beberapa artikel, video pendek, dan pengetahuan Bahasa Arab yang minimalis, tiba-tiba berkomentar di akun seorang Ulama, mengkritik apa yang disampaikan Ulama tadi seakan dia lebih ahli. Bahkan tidak jarang dengan mudah seseorang melontarkan kalimat yang tidak sopan terhadap ulama itu.
Hilangnya otorisasi atau "marja'iyyah' dalam agama inilah yang membuat permasalahan umat semakin kompleks. Karena semua merasa berhak untuk berbicara, berkomentar, dan memiliki pemahaman sendiri. Jangankan agama, dalam kedokteran saja mengakui adanya spesialisasi dan otorisasi, yang mengerti obat-obatan hanya mereka yang belajar, dan sekolah di bidang itu. Bayangkan jika seorang arsitek ikut meracik obat? Apa yang terjadi pada pasien itu..
Dulu sebelum ada media sosial, para ulama sudah biasa berbeda pendapat. Namun otoritas sebuah disiplin ilmu masih sangat dijaga ketat. Seorang yang akan mengajak berdiskusi ia akan bertemu langsung dan saling beradu argumen, ataupun karya lawan karya. Dan tentunya, tidak semua orang bisa datang dan mengomentari seorang ulama kecuali dia ulama juga. Oleh karena itu ulama membagi ikhtilaf menjadi dua, ada yang mu'tabar ada juga yang tidak dianggap.
وليس كل خلاف جاء معتبرا * إلا خلاف له حظ من النظر
Jika dikalangan ulama ada khilaf yang tidak mu'tabar, bagaimana ada seorang 'awam' mengomentari ulama??
Dan dengan adanya media sosial, semua orang 'berani' menyampaikan pendapatnya, berbeda di alam nyata.
saya yang tidak ada apa-apanya ini, pernah mengalami hal yang sama. Saya menulis tentang wajibnya jilbab, ada seorang junior mengajak saya debat di kolom komentar dengan akun palsu, ia bersilat kata, berargumentasi. Setelah bertemu di alam nyata, dia hanya bisa senyum, sungkan, sangat sopan. Padahal saat online ia berbeda jauh. bayangkan mereka yang lancang berkomentar tentang Syekh Al Azhar, Mufti...! Beranikah mereka menyampaikan langsung?
***
Saya memiliki seorang guru tasawwuf, mengajar Ihya Ulumudin di Al Azhar. Namanya Syekh Muhammad Muhanna. Pernah suatu hari beliau menyampaikan pelajaran, kemudian ada seorang ibu-ibu bertanya kepada beliau tentang hukum fikih. Beliau menjawab : "Di Masjid ini ada lembaga fatwa resmi, silahkan ditanyakan ke sana langsung" .
Syekh Muhammad Abu Musa, dikenal seorang Ahli Balaghah se-antero Arab 'Syaikhul Balaghiyyin'. Jangan bertanya tentang ayat al-Quran kepada beliau, karena beliau akan menafsirkannya dengan pendekatan bahasa yang sangat luar biasa, membuat orang tercegang mendengarnya. Di tengah mengajar 'Dalail I'jaz' karya Imam Abdul Qahir al-Jurjani, ada seorang tua datang ke kursi beliau, memotong pengajian, "Syekh aku mau minta fatwa"
Syekh menjawab:
"Saya bukan Mufti, silahkan bertanya kepada yang lebih ahli"
Kemudian orang itu pergi ke lembaga fatwa resmi.
Masih banyak lagi sebenarnya bagaimana saya melihat guru-guru saya tidak malu mengatakan "saya bukan ahli" "saya tidak tahu", padahal sebenarnya beliau tahu. Mengapa tidak mau menjawab?
Karena beliau mengakui otoritas disiplin ilmu.
Di sinilah mengapa al-Quran dan Sunnah memerintahkan kita untuk mengakui sebuah otoritas:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون (النحل: 43)
Nabi juga bersabda:
إذا وسّد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
Maka, sudah selayaknya kita menghormati otoritas seorang ulama. Menghormati bidang yang bukan bidang kita dan menghindari berkomentar jika tidak benar-benar mengetahuinya.
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا ( الاسراء : 36)
Semoga bermanfaat.
Ali Afifi Al-Azhari
Kairo, Hari Idul Adha 1441 H.