Fikih Hari Raya (‘Id)
Oleh:
Abuya Muhammad Hasan Abd Mu'iz
Mudir
Ma'had Sayyid Muhammad Alawi al-Maliky Bondowoso
Kita
sekarang sudah memasuki tanggal 24 Ramadan. Mudah-mudahan Allah menerima puasa
yang sudah kita laksanakan selama 24 hari ini. Juga semoga Allah
menganugerahkan kepada kita Lailatul Qadr, dan memanjangkan umur kita sehingga
kita bisa bertemu lagi dengan Ramadan yang akan datang. Amīn ya Rabb.
Ketika
sudah memasuki 5 terakhir Ramadan biasanya kaum muslimin, baik di di media
sosial ataupun cetak ramai memperbincangkan masalah Hari Raya ‘Idul Fitrih.
Maka oleh karenanya dalam kesempatan ini kami ingin menyajikan untuk para
pembaca pembahasan fikih ‘Idul Fitrih. Sekaligus kami sertakan pembahasan salat
‘Idul Adh-ha.
Seperti
biasanya, dalam tulisan singkat ini kami hanya menitik beratkan untuk
persoalan-persoalan yang lumrah ditanyakan oleh kaum muslimin. Persoalan yang
jarang dibahas, tidak kami tulis di sini.
Ketika
kami menulis tentang FIKIH ZAKAT, ada kawan memberi masukan kepada kami bahwa
persoalan wajibnya niat juga perlu ditulis. Namun tentang wajibnya niat dalam
zakat sengaja tetap tidak kami tulis dalam tulisan tersebut, karena
sepengetahuan kami, mayoritas muslimin sudah tahu bahwa ibadah wajib pakai
niat.
Juga
perlu diketahui, seperti dalam tulisan sebelumnya, bahwa dalam tulisan ini kami
hanya mengacu kepada Madzhab Syafi’i. Sebagai madzhab yang dianut oleh
mayoritas kaum muslimin Indonesia.
Berikut
pembahasan tentang ‘Id yang ingin kami sajikan untuk pembaca. Mudah-mudahan
manfaat dan barakah, terutama sekali bagi kami yang dlô’if ini.
-
Disunnahkan mengisi malam Hari Raya dengan ibadah. Nabi bersabda, “Siapa orang
menghidupkan malam Hari Raya (dengan ibadah) ikhlas karena Allah, maka hatinya
tidak akan mati ketika hati hati para manusia mati.” (HR. Ibnu Mājah).
-
Disunnahkan mengucapkan tahni’ah (selamat) atas masuknya ‘Id dengan mengatakan,
“Taqabbalallahu minnā wa minkum” kepada sesama muslim. (‘Umdatul Muftī wa al
Mustaftī, halaman 235).
-
Salat ‘Id paling utama dilaksanakan berjama’ah. Dan sah jika dilaksanakan
sendirian. (Busyrō al Karīm, halaman 422).
-
Salat ‘Idul Adh-ha lebih utama daripada ‘Idul Fitrih. Hal itu dikarenkan yang
disebutkan oleh Allah dalam al Quran, yaitu dalam Surat al Kautsar adalah ‘Idul
Adh-ha. Sedangkan ‘Idul Fitrih tidak. (‘Iānatut Thōlibīn, juz 1 halaman 497).
-
Waktu salat ‘Id dimulai dari terbit Matahari sampai Matahari tergelincir di
Hari Raya. Namun disunnahkan untuk mengakhirkan sampai Matahari seukuran satu
tombak.
-
Untuk salat ‘Idul Fitrih dianjurkan untuk lebih diakhirkan lagi dari waktu
meningginya Matahari seukuran satu tombak. Hal itu, guna masih tersisa waktu
yang cukup bagi muslimin yang memilih waktu paling afdlol untuk pembayaran
zakat fitrah.
-
Sedangkan untuk ‘Idul Adha disunnahkan disegerakan ketika sudah masuk waktu
afdlol. Hal itu, guna tersedia waktu yang cukup panjang untuk pelaksanaan
penyembelihan hewan kurban.
-
Bagi makmum disunnahkan untuk datang ke masjid pagi-pagi sekali. Tetapi bagi
imam disunnahkan datang ketika sudah akan dilaksanakan salat.
-
Bagi muslimat yang lagi haid juga disunnahkan untuk ikut menghadiri ke tempat
pelaksanaan salat ‘Id. Jika dilaksanakan di masjid, maka ia berada di luar
masjid. Begitupun, kesunnahan ini hanya bagi wanita yang jika keluar rumah
tidak terjadi “fitnah” disebabkan terlalu cantik, misalnya, atau karena sebab
yang lain. Bagi wanita yang demikian, maka lebih baik salat di rumah.
-
Disunnahkan makan terlebih dahulu sebelum pergi ke masjid untuk ‘Idul Fitrih.
Sedangkan untuk ‘Idul Adha disunnahkan untuk tidak makan sampai selesai
melaksanakan salat ‘Id. (Mughni al Muhtāj, juz 1 halaman 313).
-
Waktu disunnahkan bertakbir, untuk ‘Idul Fitrih: dari terbenamnya matahari di
malam Hari Raya, sampai selesainya takbiratul ihram salat ‘Id. Untuk ‘Idul
Adh-ha: menurut qoul yang ahshoh (paling benar), dari waktu Subuh hari ‘Arafah
(tanggal 9 Dzul Hijjah) sampai setelah melaksanakan salat Asar pada akhir hari
Tasyrīq (tanggal 13 Dzul Hijjah). (‘Iānatut Thōlibīn, juz 1 halaman 499 dan
Mughni al Muhtāj, juz 1 halaman 314).
-
Dalam salat ‘Id tidak disunnahkan adzan dan iqamah. Sebagai gantinya
disunnahkan bagi mu’adzin mengumandangkan, “Ash sholata jāmi’ah” (dengan fathah
ta’) atau “Ash sholatu Jāmi’ah” (dengan dlommah ta’). (Nadzm az Zubād).
-
Dalam salat ‘Id disunnahkan bertakbir 7 kali selain takbiratul ihrām di rakaat
yang pertama. Dan 5 kali selain takbir yang diucapkan ketika bangun dari sujud
dalam rakaat kedua.
-
Bagi makmun yang sudah ketinggalan takbir yang disunnahkan tersebut dari imam,
maka sudah tidak disunnahkan untuk bertakbir lagi.
-
Jika ada seseorang, baik menjadi imam atau salat ‘Id sendirian, lupa tidak bertakbir
sampai dia sujud, maka tidak boleh kembali berdiri untuk melaksanakan takbir
yang ketinggalan itu. Jika dia kembali, maka salatnya batal.
-
Apabila lupa tidak bertakbir dan baru ingat setelah membaca surat al Fatihah
maka tidak usah mengulang bertakbir. Jika mengulang, maka salatnya sah. Namun
tidak mendapatkan pahala kesunnahan bertakbir dalam salat ‘Id. (‘Iānatut
Thōlibīn, juz 1 halaman 498).
-
Apabila lupa tidak bertakbir dan baru ingat di pertengahan membaca surat al
Fatihah, maka boleh memutus bacaan surat al Fatihah untuk bertakbir, kemudian
memulai dari awal bacaan surat al Fatihah. (Raudlotut Thōlibīn, juz 1 halaman
330).
-
Disunnahkan dalam salat ‘Id untuk membaca surat Qāf dan surat Iqtarobatis
sā’ah. Atau surat al A’lā dan surat al Ghōsyiyah. (al Mu’tamad, juz 1 halaman
554).
-
Tempat salat ‘Id yang paling afdlol jika mencukupi, di masjid. Jika tidak
mencukupi, maka di lapangan. (al Mu’tamad, juz 1 halaman 557).
-
Silaturrahim disunnahkan kapan saja. Tidak hanya terbatas kepada ‘Idul Fitrih
dan ‘Idul Adh-ha.
Demikian
persoalan-persoalan fikih berhubungan dengan ‘Id yang menurut kami penting
untuk dijelaskan. Seperti dalam tulisan sebelum-sebelumnya, kami mohon kepada
para pembaca jika menemukan kekeliruan dalam tulisan ini, untuk dikonfirmasikan
kepada kami. Guna kami jadikan bahan pertimbangan tashih bagi tulisan ini.
Koncer
Darul Aman Bondowoso
24
Ramadan 1438 H.